Nggak hanya jadi buah bibir dari pemberitaan konsol Playstation 5 yang dianggap sebagai penjualan konsol tercepat sepanjang masa (terjual hampir 15 juta unit sampai dengan Maret 2021), belakangan ini sang publisher game sekaligus pengembang konsol rumahan Playstation – Sony Interactive Entertainment – juga lagi panas-panasnya diberitakan terkait isu pengambilan kebijakan dan arah bisnis di masa depan. Kebijakan-kebijakan dan arah bisnis Sony ini dianggap “bertangan dingin” kepada developer kecil dan mulai meninggalkan ciri khasnya.
Kok bisa?

ARAH BISNIS SONY YANG MAKIN WESTERN BLOCKBUSTER.
Jika kita mundur lagi ke belakang, sebut saja beberapa bulan sebelum Playstation 5 pertama kali dirilis di bulan November, Sony sedikit menjelaskan beberapa rencana aksi korporasi yaitu salah satunya dengan ekpansi studio atau akuisisi studio baru. Dengan adanya studio baru ini tentu harapannya dapat menambah kuantitas dan tentunya kualitas game ekslusif yang memang jadi kekuatan Sony jika dibanding dengan konsol ijo. Kemudian, sempat beredar kabar bahwa SIE akan bekerja sama dengan Warner Bros Interactive – publisher dari Batman Arkham dan Mortal Kombat – dalam ekslusifitas atau bahkan akuisisi studio.
Walau dikabarkan Sony telah memperluas salah satu studionya ke San Diego sejak 2019 (yang akan kita bahas nanti di bawah), nampaknya itu nggak cukup untuk menggantikan apa yang dibubarkan – bahasa alusnya sebenernya sih reorganisasi – Sony di awal tahun 2021. Kebijakan dan arah bisnis Sony yang makin western blockbuster adalah salah satu penyebabnya.
SIE Japan Studio adalah developer tertua milik Sony yang mengenalkan kita pada Ape Escape, Everybody’s Golf series, Gravity Rush – dan ratusan tittle lain yang bahkan kita nggak tau karena memang udah ada sejak tahun 1993 – ditinggalkan banyak karyawannya di triwulan pertama 2021 kemarin. Menurut Video Games Chronicles, Sony nggak memperpanjang kontrak para tim developer di dalam Japan Studio kecuali tim ASOBI (Di Japan Studio ada beberapa tim contohnya, ASOBI, Ico, Project Siren, dan Sugar Rockets, tiga terakhir sudah direorganisasi).
Tim ASOBI adalah satu-satunya tim yang masih dipercaya Sony untuk mengembangkan Astro Playroom. Alasan cuan jelas jadi penyebab Sony nggak memperpanjang kontrak para pembuat game yang Japansentris ini. Kebijakan Sony yang menerapkan perampingan organisasi pada developer yang kurang memberi cuan memang bener-bener keputusan bisnis semata. Seluruh asset, IP, dan segala perijinan dari game yang ditinggal developer tersebut dikembalikan ke SIE pusat.
Game yang dianggap hanya laku di Jepang alias Japansentris ini tentu memukul banyak fans yang memang mencintai Sony bukan hanya dari game blockbuster triple A, melainkan game-game yang terkesan indie maupun turn-based RPG, atau bahkan yang family friendly. Kebijakan yang diambil Sony ini memicu banyak perdebatan bahwa Sony memang sudah menyerah di kandang sendiri dengan rival sejawatnya, Nintendo. Alhasil, salah satu nama tenar di Japan Studio, Masaki Yamagiwa, yang menjadi Produser dari Bloodborne, akhirnya hengkang di akhir Februari 2021 kemarin.
Ditutupnya studio yang menjadi cikal-bakal perjalanan Sony dalam dunia game ini pun dianalisa banyak pengamat sebagai blunder pertama Sony di era Playstation 5: Kehilangan ciri khas. Hengkangnya para nama besar dari Japan Studio pun dinilai sebagai celah bisnis untuk para kompetitor. Microsoft dan Nintendo bisa aja merekrut developer eks-Japan Studio untuk membantu mereka meningkatkan persaingan, atau bahkan mengalahkan penetrasi Playstation untuk pasar Jepang.
Atau memang sudah kalah sejak dulu?
SONY YANG DIANGGAP “BERTANGAN BESI” KEPADA DEVELOPER KECIL.
Kekisruhan yang terjadi pada Days Gone dan The Last of Us Remake beberapa minggu ke belakang, juga bermula dari tangan besi Sony dalam pengambilan keputusan. Mempertahankan idealisme dan mempertahankan profit bukanlah hal yang bisa selalu berjalan beriringan. Bukan tanpa alasan kenapa setelah PUBG tenar, kemudian jadi makin banyak game bertemakan Battle Royale di pasar. Semua ada sebab-musababnya.
Kalau mau dilihat dari sisi bisnis, tangan besi Sony adalah hal yang dapat dikalkulasikan. Sony melakukan pengambilan keputusan berdasarkan account profitability. Dari sinilah munculnya “keberpihakan” Sony pada studio “anak emas” sebut saja Santa Monica, Naughty Dog, Sucker Punch, Insomniac, dan Guerrilla. Dari lusinan anak studio milik Sony yang tersebar di Asia, Eropa, dan North America, nggak semua bisa mendapat akses yang sama. Ini jelas karena Uncharted series, God of War, The Last of Us, HZD, dan Ghost of Tsushima bener-bener memberikan cuan maksimal. Kalo disederhanakan, yaa yang mampu menghasilkan cuan paling banyak ya yang paling disayang. Namun, keputusan Sony untuk terus memprioritaskan cuan dari game western blockbuster ini kerap dipertanyakan para analist dan tentu aja komunitas gamer di banyak forum.
Sebut saja salah satunya, Dreams, game sandbox ekslusif yang dikembangkan oleh developer Little Big Planet dan Teraway series, Media Molecule. Game yang digadang-gadang akan menjadi Roblox-nya Playstation ini kurang mendapat support dari Sony. Bahkan, banyak analist menyayangkan Sony yang nggak memberikan support ekstra untuk Dreams, mengingat game Roblox ini sangat cuan di tahun 2020. Mungkin, bagi Sony, game eksklusif yang sukses di pasaran itu ya harus yang blockbuster, action-minded, cinematic, dan grafiknya moncer.

Kurangnya recognition atau penghargaan bagi developer kecil ini akhirnya memicu konflik atau drama internal yang baru.
DRAMA DARI SAN DIEGO
Drama yang pertama datang dari Visual Art Service Group (VASG), anak perusahaan Sony yang berbasis di San Diego, bertugas menjadi support system dan assisting untuk para developer Sony, polishing dan mastering game seperti Uncharted dan Marvel Spider-man. VASG yang ditulis para jurnalis luar sebagai The Unsung Hero untuk banyak game eksklusif Sony ini meminta recognition lebih kepada Sony. Dipimpin oleh Michael Mumbauer sejak 2007, doi meminta porsi timnya untuk dapat memimpin suatu proyek game dengan kontrol penuh. Bukan hanya terus menjadi sidekick atau pendamping aja. Proyek yang diajukan Mumbauer dan timnya adalah me-remake game jadul Sony dengan grafik dan performa PS5. Ide me-remake game jadul Sony ini tentu berangkat dari peluang mendapatkan cuan maksimal tanpa harus membangun asset dari awal. Ternyata mengiming-imingi Sony dengan cuan maksimal belumlah cukup, namun juga harus less-effort. Prinsip ekonomi bener.
Proyek yang pertama diajukan adalah me-remake Uncharted seri pertama dan langsung ditolak mentah-mentah oleh Sony. Demi mendukung hype serial The Last of Us di HBO yang diprediksi tayang di awal 2022 (Ide ini mungkin berangkat dari meningkatnya jumlah pemain The Witcher 3 bersamaan dengan Witcher series di Netflix), akhirnya Sony menugaskan VASG untuk me-remake The Last of Us. Tapi, nyatanya kembali ditolak Sony karena budget yang diminta Mumbauer untuk timnya terlalu besar.

Alih-alih diberi kontrol penuh, VASG dikembalikan pada fungsi awalnya sebagai assisting dan polishing. Proyek remake The Last of Us akhirnya dikembalikan kepada pendanaan dari Naughty Dog. VASG ditugaskan untuk membantu Naughty Dog dalam polishing The Last of Us Part 2 dan The Last of Us Remake. Inilah alasan Sony melakukan ekspansi studio di San Diego seperti yang sudah disebutkan di atas.
Karena mengerjakan dua proyek sekaligus, The Last of Us Part 2 yang ditenggat waktu rilis di tahun 2019 harus mundur menjadi April 2020. Begitu juga dengan The Last of Us remake. Karena alasan ini, banyak yang memprediksi kalau The Last of Us Remake dan The Last of Us Part 2 akan dijual secara bundling di PS5 mendatang.
Drama rebutan proyek The Last of Us Remake ini pun diakhiri oleh banyaknya tim Mumbauer yang pergi dan tentu saja hengkangnya Mumbauer yang telah memimpin VASG sejak tahun 2007.
DRAMA DARI OREGON
Belum selesai dari drama VASG dan The Last of Us Remake, perlakuan tangan besi Sony kepada studio anak bawangnya di Oregon, Bend Studio, kembali naik ke permukaan. Bend Studio yang menjadi kreator dari Days Gone di 2019 kemarin diberitakan gagal melakukan penawaran kembali atau pitching proyek ke Sony untuk lanjutan sekuel Days Gone. Walau penjualan Days Gone tergolong baik untuk ukuran game dengan IP baru, kemudian juga sempat duduk di penjualan game terbaik, nyatanya Sony still not impressed. Hasil sales dari Days Gone pun nggak pernah dipublikasikan secara resmi oleh Sony.
Untuk drama lengkap dan serba-serbi drama Days Gone, bisa dibaca di sini.
Alih-alih menjalankan proyek baru, Bend Studio yang gagal melanjutkan sekuel kedua Days Gone ini malah dipecah menjadi dua grup oleh Sony. Yang satu diperbantukan untuk assisting pengembangan game multiplayer dari Naughty Dog (sempat digadang-gadang adalah multiplayer dari The Last of Us Part 2), lalu tim kedua akan membantu proyek game baru dari Uncharted (masih belum ada kabar apakah ini Uncharted Nathan Drake atau karakter baru).
Ini tentu membuat slek-slekan di kantor Bend Studio yang menolak adanya penggabungan dengan Naughty Dog. Banyak yang beranggapan bahwa ke depannya Bend Studio akan dilebur ke dalam Naughty Dog. Namun, Bend Studio meminta salah satu tim tersebut tetap ada di Bend dan dapat memimpin proyeknya sendiri. Request tersebut akhirnya dikabulkan Sony di pertengahan April, dan salah satu tim Bend Studio dapat mengerjakan gamenya sendiri. Sampai dengan berita terakhir, belum ada informasi game seperti apa yang akan dikerjakan, namun banyak yang menyebut ini adalah new IP dari Bend Studio.
Drama ini pun kembali diakhiri dengan cabutnya petinggi Bend Studio. Mulai dari produser dan salah satu direktur Bend Studio, James Ross, yang kini sudah bergabung dengan developer Mortal Kombat, NetherRealm.
Banyaknya pressure dari netijen atau mungkin karena diberondong banyak pertanyaan kenapa Days Gone kedua nggak dilanjutkan, salah satu bekas co-director Days Gone akhirnya marah-marah di livestream, dan mengatakan bahwa kalau kalian nggak support sebuah developer dengan membeli gamenya di awal rilis, kalian nggak usah minta atau nuntut sekuelnya.
WHAT WE CAN CONCLUDE?
Business is still a business. Pada akhirnya adalah profit. Perlakuan pada developer yang memberikan cuan maksimal pasti akan berbeda. Sama halnya dengan publisher lain yang di mana juga bisa menutup studio yang dianggap kurang memberikan cuan (sebut saja inisialnya EA), Sony Interactive Entertainment pun demikian. Arah bisnis Sony yang makin western dan blockbuster tentunya bener-bener akan menggunakan resource dari PS5 seoptimal mungkin. Jadi jangan kaget kalau besok SIE akan terus merilis game-game triple AAA penuh dengan action, adventure, tembak-tembakan, fully-cinematic dan jauh dari kesan family friendly apalagi untuk anak-anak.
Apakah SIE benar-benar kehilangan jati dirinya seperti yang diprediksi oleh para pengamat? Apakah ini semua adalah blunder awal Sony di era Playstation 5?
Kita tunggu aja sepak terjang SIE di rilisan game-game berikutnya.