4  Alasan Kenapa Game as a Service adalah Pedang Bermata Dua: Digandrungi atau Dicaci Maki

Industri game hari ini sudah jauh berbeda dengan game di jaman kalian masih di bangku SD dahulu.

Pesatnya perkembangan industri game tentunya nggak lepas dari lonjakan grafis dan fidelitas layaknya film, tuntutan plot story yang memorable, dan tentunya tuntutan performa yang wajib terbang dari segi framerate. Imbasnya, biaya yang diperlukan untuk membuat suatu game menjadi makin mahal dan bahkan bisa mengalahkan budget untuk membuat film blockbuster. Game-game seperti ini sering disebut dengan game triple A (AAA).

Biaya pengembangan yang besar ini akhirnya membuat para developer dan publisher mati-matian mencari cara untuk memonetisasi gamenya agar mampu menghasilkan profit dengan cepat dan berkelanjutan sambil tetap menjaga minat para pemain.

Aha, bagaimana kalau kita bikin game dengan grafis memukau, lalu kita rilis gamenya dengan konten setengah porsi, kita update kontennya bertahap lewat paid-DLC dan sistem seasonal, lalu kita kasih fitur store untuk beli kosmetik, nggak lupa kita kasih sistem battle pass, dan yang paling penting adalah kita jual dengan full price.”

Dari sinilah era game live-service dimulai. Era di mana pemain bisa mengeluarkan uang nggak hanya sekali untuk menikmati suatu game, tapi terus-terusan dan berkelanjutan karena banyaknya fitur yang dijual di game tersebut. Hype dan minat para pemain pun dapat dijaga dengan adanya kepastian untuk memberikan update konten di kemudian hari. Beberapa developer indie dan bahkan developer besar, berbondong-bondong mencoba peruntungan dari model live-service ini.

Anehnya, jika ada suatu game dengan model live-service ini sukses di pasaran, belum tentu game lain dengan model bisnis yang sama akan sukses. Jadi, meniru yang sudah sukses pun belum tentu menjamin kesuksesan yang sama. Ini seperti perjudian bagi developer. Toh, kita sudah sering melihat game dengan model live-service berguguran dan akhirnya mangkrak ditinggal publisher. Beberapa bahkan sudah ditutup dan ditarik dari peredaran.

Hyperscape adalah salah satu game battle royale milik Ubisoft yang nyawanya nggak sampai 2 tahun. Game live-service yang free-to-play ini resmi ditarik dari semua store per 28 April 2022. Game live-service yang free-to-play aja gulung tikar karena kehilangan pemainnya.

Upaya monetisasi atau cara-cara mengeruk profit yang diambil developer lewat sistem live-service ini nampaknya sangat dihindari banyak gamer. Bahkan, topik live-service adalah topik yang panas dan sensitif di beberapa forum gaming. Isinya nggak jauh dari kekecewaan dan makian.

Loh, kok bisa?

Praktik Microtransaction yang Sering Dianggap Ajang Pay -to-Win

Salah satu cara monetisasi dalam model bisnis live-service adalah menempatkan microtransaction sebagai opsi pembelian item dan pernak-pernik langsung dari dalam game.

Mungkin banyak yang nggak menyangka kalau ternyata jualan skin kostum karakter, perintilan dan aksesoris in-game itu justru mendatangkan cuan paling besar. Saking laku dan gurihnya jualan perintilan di dalam game, beberapa developer pun akhirnya nekat menjual item atau bahkan senjata yang sengaja nggak bisa didapatkan di dalam game, sehingga player harus membelinya dengan uang betulan.

Ini adalah jajaran senjata yang bisa dibeli menggunakan duit beneran di Ghost Recon: Breakpoint. Senjata ini sebenernya juga bisa ditemukan di dalam game, tapi harus berprogress dan melawan boss. Ghost Recon: Breakpoint sempat dihujat para gamer di awal perilisan karena banyaknya microtransaction di dalam game. Endingnya ketebak, gamenya pun ditinggalkan banyak pemain dan akhirnya Ubisoft melakukan overhaul besar-besaran dan "mengurangi" praktik microtransaction di dalam gamenya.

Dan yang paling berbahaya, item yang hanya bisa dibeli di store tersebut mengubah jalannya permainan, alias overpower ketimbang item-item yang terdapat di dalam game.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang adanya sistem Pay-to-Win, alias yang mengeluarkan uang paling banyaklah yang menang. Hal ini tentunya mengikis esensi gameplay yang adil, terutama untuk game kompetitif yang sangat bergantung pada skill dan keterampilan pemain.

Perbedaan loot player yang bakar banyak duit dengan yang tanpa keluar duit di game Diablo Immortal. Game mobile gacha free-to-play emang terkenal dengan tingkat pay-to-win yang sangat tinggi.

Walau banyak developer udah memberikan klarifikasi dan FAQ (frequently asked question) terkait praktik microtransaction sehat atau berbasis only cosmetics, banyak pemain sudah terlanjur antipati, dan menganggap game dengan model live-service ini cuma mau mengeruk uang dari pemain.

Kasihan.

Artificial Scarcity atau dengan Sengaja Menjual Konten dan Fitur di dalam Game yang Seharusnya Sudah ada Semenjak Hari Perilisan menjadi DLC Terpisah

Salah satu penyebab anjloknya minat pemain akan suatu game adalah minimnya pembaruan konten yang diberikan developer ke suatu game tersebut.

Nah, model bisnis game live-service sedari awal memang punya niat untuk mencicil konten game tersebut dengan harapan menjaga minat pemain lebih lama sambil menunggu pembaruan konten yang telah dijanjikan melalui road-map di depan. Hebatnya, konten-konten ini bisa saja nggak gratis, alias pemain harus mengeluarkan uang lagi untuk membelinya sebagai downloadable content (DLC).

Ini adalah konten yang sengaja disiapkan Rocksteady untuk Suicide Squad: Kill The Justice League. Alih-alih merilisnya di hari perilisan, mereka memilih untuk membuatnya sebagai konten seasonal. Padahal updatenya juga masih sama, tetap melawan Brainiac tapi dengan 1 tambahan karakter baru dan perintilan lainnya. Game ini pun nggak free-to-play, melainkan seharga game AAA, alias mulai dari 900 ribuan untuk platform konsol.

Merasa kalau konten gamenya nggak full sedari awal rilis, banyak gamer kecewa bahwa konten-konten yang dijanjikan akan rilis harusnya sudah tersedia di dalam game semenjak awal perilisan. Apalagi makin ke sini makin banyak game dengan model live-service yang dijual setara dengan game single player offline – alias membeli gamenya saja sudah full-price, tapi masih harus membeli lagi konten dan fitur-fitur yang ada di dalam game untuk dapat menikmati game tersebut secara utuh.

Yang di-highlight hijau adalah konten baru. Lalu sisanya? Yak betul sekali, bisa kalian beli di store alias jadi dijual lepasan sebagai microtransaction. Untungnya COD Warzone adalah game dengan model live-service yang free-to-play... but paid to access more content~

Progres atau Save Data yang Dimiliki Gamer sangat Bergantung pada Nasib Server

Ketika membicarakan game dengan model live-service, beberapa atau bahkan mayoritas game live-service juga menyediakan fitur cross-progression. Fitur ini membuat save data atau progress bermain player tersimpan pada server pusat dan dapat digunakan di banyak platform. Intinya, seorang gamer bisa melanjutkan progres gamenya di mana saja dan kapan pun.

Tentu hal ini terlihat sangat canggih dan tanpa batas.

Celakanya, ketika suatu game live-service ditutup, itu juga akan berimbas pada save-data atau progress yang dimiliki seorang gamer. Ketidakmampuan game live-service untuk bisa dimainkan secara offfline adalah salah satu hal lain yang sangat keras dikomplen banyak gamer dari berbagai kalangan.

Jadi, kalau ada gamer yang memiliki keterbatasan internet atau keterbatasan minat akan suatu game yang harus terus terkoneksi internet, sudah bisa dipastikan dia nggak memainkan game tersebut.

Konten yang Diberikan secara Live-Service pada Akhirnya Membuat Pemain Tidak Dapat Bermain sesuai dengan Pace-nya Sendiri

Ini adalah yang krusial.

Progresi antar pemain di tiap konten.

Mayoritas game dengan model ini akan memberikan konten secara seasonal, atau terdapat limitasi waktu dalam pengerjaannya. Nggak hanya konten seasonal, beberapa konten besar berupa ekspansi story mewajibkan pemain untuk menyelesaikan konten terdahulu untuk dapat melanjutkan ke konten baru yang akan datang. Hal ini akan membuat adanya perbedaan progress antar pemain, dan satu pemain dapat dipaksa memainkan suatu konten dengan cepat agar dapat mengejar ketertinggalan dengan pemain lain.

Contoh mudahnya seperti ini, ada pemain Call of Duty yang punya senjata meta atau skin operator paling banyak dipakai di season itu karena berhasil menamatkan battle pass di konten season sebelumnya. Pemain lain yang nggak memainkan atau nggak tamat di season sebelumnya tentu nggak memiliki senjata atau skin tersebut si season berjalan.

Atau ambil contoh game MMORPG seperti Final Fantasy XIV Online. Untuk dapat mengerjalan konten raid atau dungeon di ekpansi Endwalker bareng teman, masing-masing pemain wajib menyelesaikan konten ekpansi sebelumnya seperti Stormblood dan Shadowbringer. Adanya perbedaan progres antar pemain menjadi penghalang untuk dapat main bareng.

FF XIV Online adalah salah satu contoh dari praktik game live-service MMORPG yang sukses. Ada lebih dari 52 juta pemain yang terdaftar dan punya rerata 741 ribu pemain dalam sehari yang online di sepanjang tahun 2023. Dan untuk bisa memainkan game ini pun nggak murah, selain harus membeli ekspansinya, pemain juga wajib untuk langganan time card atau subscription bulanan. Selain itu, gamenya juga masih menyediakan berbagai skin dan pernak-pernik untuk dibeli dengan uang beneran. Kok bisa sesukses itu?

Pada akhirnya sistem seperti ini mungkin membatasi kemampuan pemain untuk menikmati game sesuai kecepatan atau pace mereka sendiri. Perubahan dan update yang terus-menerus pun nyatanya berefek langsung ke pemain baru.  Pemain yang baru bergabung ke permainan setelah banyaknya update konten yang telah diberikan ke dalam game akan sangat overwhelmed dan merasa sangat tertinggal dengan progress pemain yang sudah lama. Hal ini pun menjadi tantangan bagi para developer untuk membuat keseimbangan progresi antar pemain lama dengan pemain yang baru.

Meskipun game dengan model live-service menawarkan pengalaman bermain multiplayer yang fun dengan teman, terus berkembang karena adanya jadwal pembaruan konten, ketidakpuasan di kalangan gamer bisa dengan cepat menentukan Nasib suatu game tersebut.

Banyaknya game dengan model live-service yang kehilangan pemainnya hanya dalam kurun waktu beberapa bulan setelah perilisan, atau bahkan ditarik dari peredaran setelah satu tahun rilis, adalah salah dua bukti bahwa upaya memonetisasi game dengan skema live-service adalah pedang bermata dua bagi developer dan publisher.

Ada banyak game live-service yang begitu digandrungi, meraup cuan tiada henti. Namun tidak sedikit juga yang dicaci maki, dan akhirnya ditinggal pergi.

Mungkin benar, game yang menghasilkan profit besar dan berkepanjangan, adalah game yang berangkat dari kepuasan dan loyalitas para pemainnya.

By The Weakling Casuls

Menulis berita dan opini seputar gaming setiap hari. Sering kena roasting sama akun anon di grup Facebook PC dan konsol bajakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Index