“It should not be this underrated, this game isn’t as bad as we thought.”
Setelah dua tahun berselang, mungkin itu adalah kalimat yang terbersit di kepala gue jika mengingat game open world post-apokaliptik, Days Gone. Sempat menjadi game ekslusif Playstation selama dua tahun (saja), game besutan Bend Studio ini menceritakan perjalanan cinta dan persahabatan John Deacon di tengah sengkarut dan kejamnya kota Oregon di masa post-apokaliptik.
Seperti teman sejawatnya di Tsushima yang sama-sama hidup di masa yang kejam, pada Trophy Mono No Aware – menceritakan bahwa Jin Sakai harus meninggalkan masa lalu dan menerima takdir barunya sebagai (sesuai dengan judul gamenya) – John Deacon pada Days Gone pun kurang lebih memiliki sedikit kesamaan dalam alur cerita.
Days Gone bukanlah game yang melulu baku hantam dan bersitegang dengan satu kampung freaker, melainkan perjalanan Deacon mengikhlaskan masa lalunya dan mencari harapan baru untuk masa depan. Perjalanan emosinya ada di sini. Days Gone menginginkan kita terus merasa kehilangan sampai pada akhirnya.. gue digampar di akhir cerita.
Haha, they had me on the first half, not gonna lie.
Tapi tulisan ini bukanlah untuk mereview Days Gone atau menceritakan kembali romansa Sarah yang meluk sambil masukin tangannya ke saku jaketnya Deacon di atas moge, melainkan sedikit membahas apa yang mungkin orang lain luput pada Days Gone, Bend Studio, dan rumor-rumor yang telah ataupun tengah terjadi di dua tahun ke belakang.
Ada apa dengan Days Gone?

BERAPA TOTAL PENJUALAN DAYS GONE?
Bukan hal baru jika kita atau mungkin banyak orang mempertanyakan seberapa besar penjualan game mengingat total sales adalah salah satu indikasi (karena pada akhirnya game adalah hal yang harus mendatangkan cuan maksimal) suatu game sukses di pasar atau nggak. Sebut saja Horizon Zero Dawn yang membukukan total penjualan sebanyak 2.6 juta kopi di seluruh dunia dalam dua minggu perilisan. Atau Ghost of Tsushima yang terjual 2.4 juta kopi dalam tiga hari aja. TLOU2 dan GOW? Ya ngga usah disebutin lagi berapa angka kesuksesannya. Dua game ini menyabet GOTY dan total sales mereka sejalan dengan gelar itu (di luar kontroversi TLOU2 tentunya).
But, how about Days Gone?
Ini yang di akhir tahun 2019 gue cari dan sampai sekarang pun nggak gue temukan pastinya. Yang gue temukan hanyalah angka penjualan di Jepang dan nggak ada yang menyajikan angka penjualan world wide seperti game ekslusif Sony lainnya.

Tanpa angka yang jelas, gue hanya disajikan artikel bahwa Days Gone memiliki penjualan yang cukup baik untuk ukuran new IP games, artikel tentang Days Gone menduduki penjualan game tertinggi di bulan Mei 2019, artikel tentang Days Gone menduduki peringkat ke-19 penjualan game tersukses di 2019, atau bahkan artikel tentang Days Gone menduduki peringkat ke-6 penjualan game ekslusif PS4 di tahun 2019.
Usut punya usut, ternyata Sony emang nggak pernah mempublikasikan total sales untuk game ekslusif ini ke publik. Mungkin hanya jurnalis-jurnalis tertentu aja yang punya datanya. Semua hanya berdasarkan peringkat penjualan, tapi nggak ada angka pastinya. But why? Kenapa Sony selalu mempublikasikan angka penjualan game ekslusifnya, tapi nggak untuk Days Gone?

KILLED BY REVIEWS? ATAU DAYS GONE EMANG SEKLISE ITU?
Nggak hanya ngomongin soal angka pada penjualan, nampaknya gamer masa kini juga sangat berpatokan pada angka yang tersaji sebagai hasil akhir di tiap reviewer favorit mereka. Memang bener, review dalam industry gaming ini udah bagaikan John Deacon dengan motornya. Deacon nggak akan sanggup melewati masa apokaliptik tanpa motornya – persis kayak gamer masa kini mengalami kesulitan dalam menentukan se-worth apa game yang akan dia beli atau hanya butuh justifikasi atas pendapatnya tanpa membaca review terlebih dahulu.

Suatu game yang sebenernya biasa aja, tapi direview bagus oleh media besar, penjualannya lumayan. Pun dengan kebalikannya, ada banyak game yang menurut gue dan banyak orang itu bagus dan potensial, tapi media besar melabel sebagai medioker atau memberikan angka yang kentang, jelek nggak tapi bagus juga nggak. Days gone, buat gue, ada di angka kentang ini. Sebut saja Metacritc – media pemberi angka untuk game based on user ratings dan critics review – hanya memberi angka 71 saja untuk Metascore-nya. Ini adalah angka medioker (jika dibandingkan dengan game ekslusif Sony lainnya) untuk game yang digadang-gadang akan meneruskan kesuksesan game Sony seperti yang sebelumnya.
Tapi, masa iya, nyaris semua media besar memberikan angka dan verdict yang medioker, kentang, atau bahkan semenjana untuk game Sony? I mean, ya bukan berarti Sony nggak bisa merilis game jelek, bukan tanpa cela gitu, tapi ini ada reviewer – bahkan yang hampir nggak pernah gue simak karena banyak biasnya dan hampir selalu bagus kalau kasih penilaian – sebut saja inisialnya IGN, juga memberikan angka yang malah jauh lebih medioker terhadap Days Gone.
Why?
Apa jangan-jangan emang seklise itu?
Sekali lagi, gue nggak mereview Days Gone, tapi cuma mengumpulkan penilaian dari banyak reviewer luar yang memberikan angka medioker dan bitter conclusion untuk hasil akhirnya. Sebut aja IGN, Eurogamer, GameSpot, Metacritic, Gamesradar, dan Polygon. Berikut adalah adalah poin-poin dari mereka yang dapat gue ambil tentang Days Gone:
A slow-burn opening. Ini ada benernya, sih. Game dengan genre open world udah pasti panjang dan kalo kelamaan di depan pasti akan dragging di belakang. Idealnya, porsi penokohan dan story-telling dapat dialurkan di masing-masing part dengan rapi. Ya, idealnya. Kejadiannya, banyak yang sebaliknya. Ambil contoh AC Valhalla yang juga mengalami kendala yang sama: pelan di depan, namun tergesa-gesa mengejar durasi di belakang. Days Gone bloated di depan. Buat orang yang nggak sabaran akan riskan bisa menyelesaikannya sampai ke ending.
Kehabisan bahan bakar di akhir. Seperti pada motor Deacon yang bisa kehabisan bensin di tengah jalan, Days Gone pun dianggap demikian. Days Gone yang sangat bombastis di depan, menyajikan romansa yang berat, di tengah menceritakan Deacon yang penuh penyesalan dan redepmption, tapi di akhir… well, those all are lies. Kena edo tensei semua. Dan mereka juga menyebutkan, ada tokoh yang kurang dapet penjelasan tapi malah banyak ada dalam cerita. Atau bahkan terkesan dipaksakan dan cringe.
Nggak menambah kesan apa-apa untuk tema post-apokaliptik. Nah ini yang paling banyak gue temukan di artikel mereka. Ya, game dengan tema post-apokaliptik ini emang udah saturated. Tema bertahan hidup di tempat yang hampir nggak bisa bertahan hidup ditambah selipan cerita cinta dan romansa emosional ini memang udah jadi ciri khasnya The Last of Us. Sangat sulit kalo nggak punya ide cerita yang kuat – walau Days Gone udah berusaha buat twisting ini di akhir ceritanya. Yang dikerjakan Deacon dalam Days Gone pun cuma dua: naik motor ke TKP lalu bunuh semua yang ada di sana, atau nyari jejak dan clue di suatu tempat, lalu naik motor ke TKP dan bunuh semuanya. Rinse and repeat. Ini adalah formula misi yang franchise Assassin’s Creed udah lakukan dari jaman Altair sampai ke Jaman Eivor. Bahkan, ada yang sampai ketus memberi hasil akhir pada Days Gone dengan kalimat, “A shallow copy of many better open-world action games”.
Untuk ukuran game open world yang punya grafis memukau, ditambah dengan ekspektasi besar selama menyandang status eksklusif, nilai medioker ini emang pukulan telak untuk Sony dan Bend Studio. Hasil ini pun berpengaruh pada sambutan banyak player Playstation di banyak sosial media. Buat gue pribadi, setelah melihat banyak reaksi player di banyak grup Playstation di Facebook, Days Gone ini lebih terlihat sebagai anak tiri di kandang sendiri. Game ini baru dirasa naik lagi animonya setelah berhasil jadi gratisan PS plus dan jadi gratisan collection bagi user PS5.

Dari sekian banyak sambutan untuk game ekslusif di kandang sendiri, Days Gone ini minim atensi. Berbeda jauh dengan God of War, HZD, Uncharted, Tsushima, atau bahkan sang kontroversi The Last of Us. Selama dua tahun ini Days Gone minim pemberitaan sampai akhirnya jadi ramai lagi setelah resmi melepas keperawanan keeksklusifannya pada Pisi master race dan bisa kalian mainkan di pertengahan Mei 2021. Anak EGS mungkin bisa menyombongkan diri karena harga Days Gone di sana jauh lebih murah dari harga di Steam.
Hidup itu berjalan layaknya bajingan, Bun.. Kalo udah nggak ada baru disesali, kalo udah nggak bersama, baru deh dicari-cari.
AKANKAH ADA DAYS GONE PART KEDUA?
Rumor kelanjutan perjalanan Days Gone untuk yang kedua pun belakangan ini mencuat ke permukaan. Baru sebentar mencuat, langsung dipukul lagi dengan jawaban mantan director Bend Studio, James Ross – yang kini bergabung dengan NetherRealm – bahwa Days Gone Part 2 nggak di-acc Sony atau unsuccessful pitched by Bend Studio. Ross juga mengatakan bahwa Days Gone 2 akan berisikan konten yang batal dilepas ke Days Gone 1 yaitu fitur multiplayer co-op.
Yha, bubar sudah peluang Days Gone Part 2 disetujui dalam waktu dekat.
Ross juga menambahkan bahwa keputusan tetap berada sepenuhnya pada Sony sebagai pemegang kendali. Game yang sama halnya dengan industri perfilman, alias membutuhkan sumber daya dan keuangan yang memadai, nggak akan bisa berjalan tanpa dukungan dua hal tersebut.

Alih-alih melanjutkan sequel untuk Days Gone, Sony malah membuat proyek lain yang juga nggak kalah non-sense bagi para player: kembali me-remake The Last of Us untuk PS5 yang udah pernah di-remaster ke PS4. Kabar ini pun disambut ketus oleh para fans Playstation dan melawan balik dengan pengajuan petisi untuk melanjutkan Days Gone Part 2.
Sebagai penutup tulisan ini, mungkin bisa gue sampaikan sedikit pesan berbaik sangka untuk para player Playstation yang menunggu sekuel Days Gone Part 2:
Sudahlah gaes, Days Gone di kandang sendiri tuh kurang mendapat sambutan, mungkin juga kurang cuan, biarkan mereka untuk kembali meraih asa di kantong para PC player bulan Mei 2021 ini. Siapa tahu niatnya memang seperti Horizon Zero Dawn, menarik perhatian PC player supaya besok tertarik beli HZD Forbidden West dan mau nggak mau jadi beli PS5 kan. Kalau Days Gone bisa sukses di penilaian para PC player, nggak menutup kemungkinan Sony bakal mempertimbangkan kelanjutan untuk part keduanya.
Sekali lagi, inget kata eks Director Bend Studio, gaes, “For Sony, every era is about Survival. They never been cash-rich, so they have got to be smart.” Buat kalian non-sense, buat Sony mungkin menyambung hidup..
I wanted to thank you for this good read!! I definitely loved every little bit of it. I have got you book marked to check out new stuff you post…