A weirldy beautiful.

Pernahkah kalian memainkan suatu game yang grafiknya cantik, tapi kalian bingung, atau bahkan tetep ngga ngerti disuruh ngapain di masing-masing bagiannya, tapi tetep bisa tamat dan bahkan bisa baper setelah sampai di ending cerita?

Nggak pernah, yha?

Game yang gue tunggu kehadirannya semenjak pertama dipamerkan lewat trailer pendek di Agustus 2019, kemudian hilang ngga ada kabar karena ditelan berita game blockbuster lainnya ini, akhirnya dirilis di tanggal 16 September 2021 kemarin. Game ini dengan sangat mudah membuktikan bahwa game yang indah dan memukau itu nggak harus disajikan dengan grafik dan tekstur seperti game dengan Unreal Engine yang budgetnya jutaan dollar. Yha, game dengan grafik pixel/pixelated nyatanya mampu tampil dan dikemas sangat indah sampai 40 jam gue termakan begitu aja. Game ini berhasil me-refresh burn-out gue terhadap game-game blockbuster AAA yang tampil pada lini 2020-2021.

Di Nintendo Switch harganya sekitar 300 ribuan, di Steam, seperti biasa.. cuma setengahnya.

Game yang disajikan begitu indah dan tampak menyegarkan mata ini ternyata menyimpan keanehan tiada akhir. Saking anehnya, bahkan pada akhir chapter-nya, gue masih menyimpan begitu banyak tanda tanya dan reaksi “Hah, ini ngapain, sih?”

Inilah review dari game yang begitu cantik tapi aneh banget – a weirdly beautiful – Eastward.

PIXPIL AND ITS ARTS.

Cantik dan penuh seni. Itulah apa yang bisa gue gambarkan ke dalam tulisan perkara betapa artsy-nya Eastward ini. Lahir dari developer berkesenian tinggi – Pixpil –Eastward dikemas ke dalam suatu dunia sci-fi penuh warna yang sangat memanjakan mata-mata lelah.

Buat kalian para gamer yang mohon maaf – tua – game pixel ini tentunya nggak hanya menyegarkan, namun juga bisa membawa kalian kembali kepada memori-memori masa kecil, memori di mana game-game masih tersaji dengan grafik yang pixelated. Sebut saja salah satunya grafik Pokemon di era Gameboy Advance atau SP. Atau bahkan game SEGA.

Tentunya penikmat game pixel, gue rasa, nggak punya banyak alasan untuk nggak nyoba game yang penuh kerajinan tangan dan kesenian yang satu ini..

THE SCORING AND AUDIO DESIGN

Udah bukan hal baru kalau game yang dibanderol dengan nilai tinggi itu nggak hanya bagus dari segi penyampaian cerita dan penyajian grafis, tapi juga bagus pada scoring dan audio design-nya. Kedua hal ini membuat ambience di dalam suatu game semakin hidup dan mendukung penyampaian tema dari game tersebut.

Selain bagaimana artsy-nya sang developer mengemas grafik pixel yang dipadu-padankan dengan tehnolohi kekinian, nampaknya Eastward juga nggak lupa dengan sentuhan pada background music atau scoring-nya. Ini berhasil membuat gue berlama-lama untuk sekedar chilling mendengarkan background music yang ada di tiap adegan atau chapternya. Nggak heran kalau bagus, music scoring di dalam game ini dikompos oleh orang yang sama yang bikin kalian merinding lewat music di dalam Death Stranding, Joel Corelitz.

Secara garis besar, scoring Eastward yang bertemakan Sci-fi ini tentunya nggak jauh-jauh dari iringan music yang upbeat, catchy, dan energetic. Ini bagus jadi playlist para gamer yang nggak punya waktu buat me time karena di kantornya udah terlalu overwork, padahal bekerja dan bermain game harus work-life balance. Nggak hanya itu aja, Eastward juga ditampilkan dengan suasana chill dan lo-fi, bahkan di beberapa tempat akan terasa banget nuansa gloomy-nya. Ini bagus jadi playlist para gamer yang punya anxiety karena semasa mudanya kurang self-reward, sehingga harus sering staycation supaya nggak kena mental health issue.

Lah, ini kenapa jadi Jaksel-vibe begini.

GAMEPLAY AND MECHANICS

Eastward dengan jelas memberikan impresi bahwa game ini adalah game action adventure linear yang dipenuhi oleh puzzle dan halang-rintang di setiap chapter-nya. Eastward yang kalau kita terjemahkan secara harafiah adalah ke arah timur, dikemas dalam perspektif atau angle kamera semi-isometric dan dicampur dengan angle 2D-platforming. Pergi ke arah timur ini diceritakan dengan bepergian menggunakan kereta untuk sampai kota selanjutnya. Masing-masing chapter memiliki kota atau lokasi yang unik mengikuti alur cerita yang juga nggak kalah aneh  uniknya.

Naik kereka ekonomi tanpa karcis.

Kita akan bermain dengan tokoh utama seorang om-om paruh baya jenggotan bernama John, dan seorang anak perempuan berambut putih panjang yang punya kekuatan magis – yang dia juga nggak paham dapetnya dari mana – bernama Sam. Lebih dari 90% gameplay-nya akan kita lalui dengan memainkan dua karakter ini sekaligus. Ganti-gantian dalam melawan musuh dan memecahkan puzzle. Di sinilah letak tingkat kesulitan di dalam Eastward: kita harus memecahkan puzzle menggunakan dua karakter yang masing-masing punya kemampuan spesifik pada mekanik dan monster tertentu secara bergantian di kesempatan yang sama.

Ketrampilan tangan dengan memainkan dua karakter sekaligus.

John yang sepanjang permainan sangat introvert – bahkan nggak bisa ngomong alias bisu – dipadu-padankan dengan Sam seorang bocil urakan yang penuh enerji. Bukan pedang, tombak, atau perisai, senjata utama John adalah… panci penggorengan. Panci atau teflon penggorengan ini bisa dipake buat mukul dan menangkis serangan berupa proyektil. Anak PUBG akan ketawa melihat si John ini. Sedangkan Sam punya kekuatan magis yang bisa membuat musuh diem nggak bergerak untuk beberapa detik. Kekuatan magis pada Sam ini sangat dibutuhkan dalam memecahkan puzzle dan mekanik boss di hampir semua chapter.

Persenjataan pada John dan Sam.

Senjata pada John bisa diupgrade dan bisa memiliki senjata lain seperti pistol, flamethrower, gergaji lempar, dan tiga jenis bom. Semua bisa didapat mengikuti progress cerita. Terdapat sistem level pada senjata yang bisa ditingkatkan maksimal sampai dengan Lv 3. Cara upgrade senjata pun mudah, kita hanya perlu mengumpulkan kolektibel berupa material upgrade yang tersebar di seluruh map pada chapter. Walau seluruh senjata yang bisa dibawa oleh John dapat diunlock pada cerita utama, namun seluruh kolektibel berupa material upgrade, Salt (mata uang di game ini), amunisi berupa peluru dan bom, heart (health bar) dapat missable, alias bisa terlewat karena ketidakcermatan player dalam eksplorasi di dalam tiap map atau kota.

Jangan lupa membeli Treasure Radar untuk ngecek collectible items yang missable.

Sistem healing menggunakan potion di dalam Eastward tergolong aneh  unik. Potion di sini berupa makanan yang bisa kita masak di kompor menggunakan 3 jenis bahan makanan (daging, buah, sayur). Jenis makanan yang didapat ini akan membuka berbagai jenis resep makanan. Jenis makanan yang kita masak pun memberikan potensi penyembuhan yang berbeda-beda tergantung keberuntungan pada sistem gacha. Mau masak aja pake gacha. Haha. Bahan makanan ini bisa kita beli di tiap toko bahan makanan di masing-masing kota, atau mungut pada peti kolektibel yang missable. Yang perlu dijadikan perhatian adalah, game ini linear dan kalian nggak bisa balik ke kota awal atau sebelumnya jika belum menamatkan game ini. Lalu, tiap toko pada kota ini menjual beberapa bahan makanan tertentu yang spesifik dan berbeda dengan kota lainnya. Jadi usahakan untuk beli semua bahan makanan pada toko di setiap kota karena kita nggak bisa balik ke kota sebelumnya.

Gacha bukan buat narik Zhongli, tapi buat masak.

Tapi tenang aja, di dalam game ini juga ada suatu benda berupa vending machine yang menjual potion berupa blood pack dengan potensi penyembuhan sebanyak 5 heart.

Belum selesai di situ, keanehan keunikan Eastward ini juga dapat kita temukan saat menyimpan atau save progress bermain. Kalau game single player pada umumnya menyajikan fitur penyimpanan progress melalui tenda istirahat, tempat tidur, atau lokasi-lokasi spesifik, Eastward menyajikannya dengan cara… membuka kulkas. Yha, di setiap map ada beberapa titik lokasi yang ada kulkasnya, dan kita tinggal membuka kulkas dan melakukan penyimpanan progress di sana.

Sering-sering ngebuka kulkas adalah tanda-tanda anxiety di malam hari.

Tapi tenang aja, ada fitur auto-save yang menyimpan progress permainan. Tapi untuk jaga-jaga, ya ngga ada salahnya kan kalo setiap ngeliat kulkas di map terus kita buka. Toh, kita juga sering kan iseng bukain kulkas di rumah walau tau isi kulkasya juga itu-itu aja. Hahaha.

PUZZLE

Berbicara tentang kesulitan, seperti game dengan ide mencari jalan keluar, memecahkan suatu masalah berbentuk puzzle, melewati halang rintangan, dan sampai mengalahkan bos dengan mekanik tertentu, Easward, buat gue, nggak menambah kesegaran atau pengalaman bermain seperti game-game dengan mekanik atau genre sejenis. Buat para pemain yang udah menamatkan Zelda: Breath of The Wild, ataupun Fenyx Rising, puzzle-puzzle yang ada di dalam Eastward tentunya adalah hal sepele. Kalian dapat memainkan game ini tanpa limitasi kekalahan, alias nggak ada sistem game over. Game akan terus diulang pada checkpoint terdekat sampai kalian berhasil menamatkan atau melewati stage tersebut.

Salah satu penampakan mini boss di dalam Eastward. Masing-masing punya mekanik tertentu dan nggak ada hint dalam menyelesaikannya.

Puzzle atau halang rintangan ini nggak banyak punya variasi dan hanya terbagi menjadi beberapa jenis: kalahkan semua musuh di map, mengendap-ngendap tanpa ketahuan, menghindari kejaran miasma, dan mencari kunci untuk membuka pintu. Empat hal ini akan kalian temukan di nyaris delapan chapter dalam Eastward. Satu-satunya hal sulit di sini adalah nyaris nggak ada hint atau petunjuk. Jadi satu-satunya cara adalah mencoba semua variasi serangan antara John dengan Sam. Tapi kesulitan ini pun kayaknya nggak akan bikin kalian sampe nge-Youtube untuk nontonin walkthrough-nya, sih..

MAP AND CITY DESIGN

Berbeda dengan Gokong dan Tomsamchong yang melakukan perjalanan ke barat, John dan Sam perginya malah ke timur. Perjalanan menuju timur ini digambarkan dengan perjalanan mereka mencari clue dan doing favor karakter pendukung di tiap kota. Walau inti temanya adalah sci-fi, Eastward juga tetep menghadirkan nuansa perkampungan atau rural di beberapa chapter-nya. Kalian juga dapat menemukan kota di bernuansa Jepang, China, ataupun kota modern di western sebagai latar di dalam game yang mengurai story-nya menjadi delapan chapter ini. Nggak hanya itu, puzzle-puzzle di dalam game ini pun dikemas ke dalam beberapa latar seperti hutan belantara, rumah tua, tema abstrak cyberpunk penuh kelap-kelip, dan bahkan sampai kepada tema robotic alien. Semua keanehan dan keunikan ini dikemas dengan sangat memukau. Numero uno untuk game tanpa budget jutaan dolar.

Kota yang jauh dari permukaan, Potrock Isle.

Bingung kan dari tadi kok isinya memuji dan memuja tanpa cela?

Buat kalian yang suka dengan game yang menjual plot cerita berlika-liku, penokohan karakter yang dalam, dan sarat akan makna, ini bukanlah kabar baik. Kalau boleh meminjam salah satu judul novel Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka, di sinilah letak luka menganga pada sang gadis cantik, Eastward.

Game yang niatnya story-driven, tapi malah jadi mumet-driven.

STORY

Developer game yang menitikberatkan penyajian alur cerita dan plotnya lebih kepada isi percakapan, bukan dialirkan menggunakan adegan, adalah ibarat perjudian. Antara dua, bagus banget, atau mumet banget. Karena Eastward sendiri memang sebuah game tanpa menggunakan voice-over layaknya game JRPG jadul, semua konflik dan plot pada alur cerita disajikan menggunakan bubble text. Buat yang kemampuan bahasa inggrisnya, mohon maaf, kureng, ini bakal jadi draw-back alias “apazeeeeh anjeeenc ora ngerti”.

Vibe aneh dari Eastward pun langsung dapat kalian temukan di awal-awal game dimulai. John diceritakan sebagai om-om paruh baya yang bisu dan bekerja sebagai penambang di Potrock Isle, kota bawah tanah yang berada jauh dari permukaan. Dunia dalam Eastward sendiri digambarkan sebagai dunia yang kejam karena di atas permukaan terdapat ancaman miasma – bayangan hitam yang akan mematikan apapun yang dilewatinya. Siapapun yang menentang aturan di Potrock Isle, maka dapat dihukum dengan cara dibuang ke permukaan.

Di dalam tambang tua yang isinya monster-monster inilah John bertemu dengan Sam. John yang bisu ini pun akhirnya memutuskan untuk mengadopsi Sam sebagai – ini pun nggak jelas, apakah sebagai anak, atau teman berpetualang, adek-abang, adek ketemu gede, atau entah apa. Relasi antar mereka terjadi begitu aja tanpa perlu mikirin mana yang duluan – telur atau ayam.

Karena pas dipungut udah langsung bisa jalan (ya namanya juga anak dajjal), akhirnya John menyekolahkan Sam di pesantren sekolah Potrock Isle.  Seperti pada FTV kebanyakan, akan ada adegan di mana anak culun digencet alias di-bully sama anak orang kaya di sekolah. Sam seorang anak pungut dengan privilege kekuatan super ini pun tanpa tedeng aling langsung membela si anak culun.

Awal mula Sam bersitegang dengan anak orang kaya.

Long story short, karena Sam bermasalah sama anak orang kaya ini, akhirnya John juga jadi punya masalah sama bapaknya – yang kebetulan walikota Potrock Isle. John dan Sam akhirnya dihukum dengan cara dibuang ke permukaan. Di sinilah awal perjalanan John dan Sam ke arah timur untuk menguak jati diri Sam dan melewati ancaman Miasma. Gue kasih bocoran sedikit: sampai di akhir cerita, gue nyaris kesulitan menemukan apa korelasi antara Miasma dengan jati diri Sam, apalagi korelasi dengan bos terakhirnya. Miasma di sini lebih mirip wabah dan tinggal tunggu waktu aja buat ngancurin kota.

Lari dari kejaran Miasma yang rasanya lebih mirip dikejar Amaterasu-nya Itachi.

Apa yang terjadi pada Assassin’s Creed Valhalla, Days Gone, dan Death Stranding pun terjadi di dalam Eastward. Ya, slow burn di depan. Buat yang nggak sabar di awal, terutama hanya melihat dan mengetahui isi cerita lewat bubble text, ini bukanlah kabar baik bagi kelopak mata yang harus berjuang melawan rasa kantuk. Delapan chapter di dalam game ini nggak punya sebaran konten yang merata. Ada 1 kota yang hanya kalian lewati dengan cepat, ada 1 kota yang penuh dengan plot, puzzle, dan berisikan dua chapter sekaligus.

CHARACTERS

Nggak hanya dalam penulisan ide cerita, pengenalan karakter selain John dan Sam juga menjadi luka lain di dalam tubuh cantiknya Eastward. Karakter-karakter pendukung yang akan menemani perjalanan John dan Sam nggak punya pengaruh banyak di dalam cerita. Ibaratnya, mereka cuma jadi tools untuk kalian berpindah dari kota satu ke kota lainnya, lalu dilupakan begitu aja. Salah satu contoh pengenalan karakter yang kureng adalah ketika John bertemu dengan Uva di kota Greenberg. Uva adalah seorang perempuan yang jatuh cinta kepada John pada pandangan pertama. Apa yang membuat Uva jatuh cinta pun menggantung gitu aja sampai di akhir chapter Greenberg. Chapter ini menceritakan upaya warga kota Greenberg buat nyomblangin Uva sama John. Pokoknya kureng, lah.

Cewek emang gitu, dikejar lari, didiemin malah nembak.

Lalu ada karakter badut yang akan kita temukan di awal-awal permainan (bukan badut yang di sosmed yang suka komen ngawur loh ya) bernama Jasper yang kita temuin gitu aja kayak nggak sengaja. Jasper ini seorang badut penakut yang kehilangan teman-teman sesama sirkusnya, dan kita berusaha menyemangatinya untuk punya semangat hidup dan main sirkus lagi. Namun, karakter ini juga ilang gitu aja dan kalian nggak akan nemuin banyak korelasi dengan petualangan John dan Sam di dalam Eastward.

Kemudian kalian akan bertemu dengan ilmuwan bernama William dan robot supranaturalnya, Daniel. Dari pertengahan sampai end game kita akan doing favor kepada mereka. William dan Daniel lah yang akan membawa kita pada Salomon, bos utama di dalam Eastward yang akan menjadi kunci jawaban dari pertanyaan: siapa dan apa sebenernya tujuan Sam di dunia Eastward. Lalu apa motivasi dari Salomon selaku karakter antagonis di dalam game ini? Menghancurkan dunia? Menjadi orang terkuat? Gue bahkan masih belum mendapat jawaban pasti dari pertanyaan tersebut walau sudah empat puluh jam tenggelam di game ini.

Shallow and disappointing.

Belum. Belum selesai sampai di situ. Alur cerita dan plot yang dititikberatkan pada percakapan antar character menggunakan bubble text ini pun berat untuk dicerna. Penggunaan bahasa dalam percakapan yang banyak dibumbui metafora ini makin mempersulit jalan cerita Eastward yang udah mumet by default.

Salah satu contoh percakapannya begini, “You’re a cobweb stretched across time,” one refrigerator told me. “And memories get stuck in you, just like little bugs.” Sebuah lini percakapan yang nggak ramah bagi orang yang memulai serangkaian alur mumet dalam Eastward. Buat yang pemahaman bahasa inggrisnya – sekali lagi mohon maaf – kureng, tentunya akan dihadapkan oleh dua pilihan: ngespam tombol untuk mempercepat laju percakapan, atau ketiduran.

FINAL VERDICT

Setelah melewati chapter akhir, gue dapat menemukan bahwa Eastward adalah sebuah romansa dan perjalanan untuk merangkai kembali apa yang hilang di masa lalu. Perjalanan dilanjutkan antara siklus hidup-mati yang dikemas ke dalam dunia post-apokaliptik. Seluruh karakter di dalam game ini berusaha untuk menemukan apa yang hilang dan menggantikannya. Uva di chapter Greenberg berusaha menemukan cinta senjatinya, namun kentang. Jasper berusaha menemukan keberaniannya, namun kureng. Romansa William dengan Daniel robot ciptaannya, juga dangkal. Begitu juga Sam dan John, apa yang dicari oleh John di game ini pun sulit dicerna. Kedatangan Sam di dunianya John pun nggak jelas visi dan misinya. Dan ditambah tokoh antagonis yang nggak jelas juntrungannya.

Gue sangat berharap kemumetan Eastward yang slow-burn di depan ini dijawab di endingnya. Nyatanya itu tetap menjadi misteri sang developer. Memainkan Eastward seperti membaca sebuah puisi panjang. Akan ada banyak bagian yang sangat sulit dicerna tapi tetap bisa dinikmati karena keindahannya. Eastward, buat gue, adalah perjalanan panjang dari satu metafor ke metafor lainnya.

Di scene akhir, gue merasakan kesedihan yang dialami oleh John. Bukan dari adegan, plot, atau alur ceritanya, melainkan lewat scoring musiknya. Setelah scene berakhir, gue sempat tertegun sebentar dan menghela nafas. Ini adalah pengalaman pertama gue menamatkan suatu game tanpa menguasai alur cerita, tapi bisa merasakan sakitnya menjadi sang tokoh utama.

Aneh dan mumet.

Game ini nyaris nggak punya replayability selain menikmati keindahan warna dan ambience di masing-masing chapternya. Seperti game linear pada umumnya, masing-masing kota dapat dikunjungi kembali dengan mengulang chapter yang telah terbuka. Nggak ada aktivitas tambahan apapun, selain Earthborn – game RPG jadul yang bisa dimainkan di dalam game ini. Ya, game di dalam game.

Game RPG turn-based jadul Earthborn di dalam Eastward.

Walau sulit dipahami, nyaris nggak punya konten di luar cerita utama, dan perjalanan yang cuma satu arah alias one way ticket, Eastward tetep memberikan semangat baru dalam industri game lewat warna-warni pixelated dan kemegahan skoring musiknya.

Dengan berakhirnya tulisan panjang ini, gue merekomendasikan Eastward kepada seluruh player PC dan Nintendo Switch, bukan karena alur ceritanya, melainkan grafik dan skoring musiknya. Oiya satu lagi, harga nggak masalah, yang penting murah.

Angka 6.5 /10 untuk Eastward dari Paguyuban Mendang-Mending Indonesia.

By The Weakling Casuls

Menulis berita dan opini seputar gaming setiap hari. Sering kena roasting sama akun anon di grup Facebook PC dan konsol bajakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *