Industri gaming terus berubah. Dari cara main yang sebelah-sebelahan dengan teman jadi full online dengan koneksi internet, cara mengakses game dari yang belinya fisik atau kepingan, beli digital, sampai hari ini yang full digital dengan sistem sewa berbentuk langganan atau subscription.
Microsoft lewat sistem Gamepass-nya adalah salah satu kontributor paling disruptif yang mengubah tatanan lama di dalam industri gaming. Walau bukan menjadi orang pertama yang bermain sebagai penyedia game berlangganan, Gamepass yang dilepas ke pasaran di tahun 2017 ini kian melejit layaknya Netflix tapi dalam versi video game. Gamepass menyediakan perpustakaan video game yang jajaran game-nya terus ditambah tiap bulan dan bakal dikasi pemberitahuan kalau gamenya cabut, alias leaving soon. Hal paling krusial yang menjadi jurang pembeda adalah, Gamepass mampu ngasih game yang baru rilis secara day one di layanannya. Apalagi game-game yang dibikin dari Studio yang udah dibeli sama Microsoft. Orang mah kalau jajan tu kan jajan makanan yha, bukan jajan Studio. Sri Sultan mah bebas, ya ges ya.

Sebelum Microsoft kepikiran untuk ngerilis Gamepass, Sony Playstation dan EA Play udah duluan bermain di layanan game berlangganan sejak tahun 2014. Kendati demikian, penetrasinya bisa dibilang kurang moncer. Sony Playstation dengan PS Now-nya hanya bisa diakses di region tertentu, dan jelas orang Indonesia dengan akun PSN region 3 nggak bisa menikmati hal tersebut dengan kurs Rupiah. Pun sama halnya dengan EA Play yang mengalami keterbatasan jenis game di dalam library. EA yang menjadi publisher paling most wanted sejagat raya ini tentunya hanya menyediakan game yang dirilis mereka sendiri. Akhirnya EA Play memilih untuk berkolaborasi dengan pihak lain yang aksesnya bisa kalian nikmati juga di Playstation, Xbox, dan Steam.

Di tahun 2022 ini, akibat begitu masif dan terstrukturnya penetrasi Gamepass sang Sri Sultan Microsoft, Sony pun keluar dari zona nyamannya. Playstation yang mungkin merasa di atas angin sejak jaman kalian mainin Roberto Carlos jadi penyerang di Winning Eleven, tanggal 24 Mei 2022 kemarin mereka bongkar formasi untuk bisa terus berkompetisi di sengitnya Gaming Champions League. Sistem membership berupa PS Plus dan langganan game di dalam PS Now dilebur menjadi satu dalam kemasan The All New Playsation Plus. Layanan ini terbagi menjadi 3 (harusnya ada tier Premium tapi Indonesia nggak kebagian), di mana hanya versi Extra dan Deluxe yang memberikan akses library game untuk dimainkan. Walau akhirnya Sony melepas banyak gamenya di library PS Plus Extra dan Deluxe, Sony tetep kekeuh untuk nggak memberikan game first party ekslusifnya ke dalam layanan tersebut secara day one perilisan.

Di kubu merah alias Nintendo Switch, mereka meluncurkan sistem membership berlangganan bernama Nintendo Switch Online (NSO) setahun berselang dari perilisan Gamepass, yaitu di September 2018. Senada dengan pergerakan layanan game berlangganan, di tahun 2019, NSO akhirnya juga ikutan ngasih akses ke retro games-nya – NES Classic dan SNES. Lalu, di tahun 2021 kemarin, NSO juga ngeluarin jajaran game dari Nintendo 64 ke dalam library-nya. Seperti biasa, kudu nambah untuk bisa ngerasain fitur expansi NSO ini. Usut punya usut, katanya sih, jajaran game dari Gameboy Advance (GBA) juga akan dilepas tahun 2022 ini. Bener apa nggaknya bisa dibaca di sini. Semoga bener deh, yha.

Gimana, makin moncer kan pergerakan para konsol untuk berlomba-lomba memberikan akses library game dengan sistem berlangganan? Kalau ada satu yang disruptif, yang lain akan mengikuti.

SISTEM LAYANAN GAME BERLANGGANAN MENGUBAH PERILAKU DAN PANDANGAN PARA GAMER
Dengan semakin banyak, mudah, dan murahnya para gamer dapat mengakses suatu game tanpa perlu membeli game secara utuh, gamer pun akhirnya angkat suara. Perubahan besar yang disruptif dalam tatanan bermain game ini nyatanya mengubah perilaku gamer dan tentunya pandangan dalam menyingkapinya. Ada yang merasa sangat diuntungkan, ada yang merasa muntah-muntah karena terlalu banyak pilihan game, dan atau malah sebaliknya – merasa bahwa layanan berlangganan game ini justru mengurangi esensi dan rasa memiliki dari game itu sendiri.
Sejak awal tahun 2022, gue melihat pokok bahasan ini kian memanas di berbagai forum gaming. Berikut adalah fenomena atau perubahan dalam perilaku gamer yang bisa gue tangkap dan dituang ke dalam beberapa kategori.
THE CHEAPSKATE
Sistem subs alias ngerental ini memang mengubah sudut pandang gamer ketika membeli game. Biaya yang udah dikeluarin untuk langganan, bikin beberapa atau bahkan banyak gamer jadi lebih considerate, lebih mempertimbangkan, atau malah berujung mendang-mending ke game yang dirilis di luar sistem berlangganan. Ini adalah fenomena cheapskate tapi di dalam konteks main game. Banyak yang semakin menunda membeli game di hari pertama rilis bukan hanya karena menunggu review, tapi udah mulai mempertimbangkan apa jadinya kalo dibeli hari pertama rilis terus beberapa bulan kemudian rilis di Gamepass atau di Playstation Plus Extra/Deluxe?
Pasti nyesek kan?
Apakah ini salah? Yha… nggak juga sih.
Berlangganan kan udah ngeluarin uang, apalagi yang udah sampai menumpuk subs tahunan. Ya ngapain beli game lagi, mending duitnya dipake buat yang lain. Kalo punya katalog atau library yang isinya ratusan game, mau ngapain lagi, hah?
THE SPENDTHRIFT
Berbeda dengan para cheapskate yang dengan adanya sistem langganan game malah jadi sangat menutup keran belanjanya, di banyak kasus lain yang gue temukan, malah berakhir sebaliknya. Bahkan Microsoft pun punya data yang menjelaskan bahwa ada banyak gamer yang belanja gamenya meningkat justru setelah beberapa bulan langganan Gamepass. Hal ini nggak jadi mengagetkan ketika gamer ini sebenernya nggak bener-bener paham sama genre game yang dia suka, atau malah sebenernya dia ini penyuka semua jenis…. game.
Salah satu kelebihan dari sistem berlangganan game adalah, gamer dikasi kesempatan untuk nyoba mainin game secara penuh tanpa limitasi trial. Ketika library game berisi ratusan game ini dibuka, maka seseorang gamer bisa mengeksploitasi 24 jam dalam hidupnya untuk mainin game dengan genre yang dia nggak suka atau nggak pernah dicoba sebelumnya. Ketika dia nyoba genre game di luar pakem normalnya, dan tau-tau ketagihan, hal paling logis adalah beli konten tambahan atau atau DLC, dan tentu aja nyari game dengan genre sejenis, yang mirip, atau berdekatan. Kalo nggak ada di list sistem berlangganan, terus gimana? Ya, beli.
Contoh, ketika orang langganan Gamepass dan nyoba main Dragon Quest Builder 2, tau-tau nggak kerasa ratusan jam mainin itu, dia akan tertarik untuk beli konten tambahan/add-ons/DLC. Kalo DLC game tersebut udah dibeli, dia bisa mencari lagi game dengan genre sim builder sejenis atau yang mendekati. Pas diliat di list Gamepass, eh taunya nggak gratis. Akhirnya dia beli. Makin di-eksplore, makin suka. Akhirnya dia melebarkan spending-nya untuk game yang bahkan nggak ada di Xbox untuk bisa mainin game builder lainnya. Long story short, bermula dari langganan Gamepass, dia jadi beli game-game yang dijual di luar list Gamepass, sampai akhirnya jadi gamer yang multiplatform.
Walau keliatan nggak logis, nyatanya data berbanding sebaliknya.
Voila, when a cheapskate becomes a spendthrift.

THE BACKLOG PROUD
Sebelum era berlangganan game ini makin menjadi dan makin merambah ke region terdekat kita, trend gamer yang beli game di hari pertama karena FOMO, takut kena spoiler, takut ilang hype, atau takut progress-nya keduluan teman sepermainan, bukanlah hal yang baru. Di banyak forum, kegiatan menimbun game yang dibeli tapi nggak dimainin ini bahkan udah jadi becandaan sehari-hari. Maklum, dulu waktu kita kecil, waktu mainnya ada banyak, tapi duitnya nggak. Pas udah gede, duit buat beli gamenya ada, waktunya yang nggak ada. Hidup berjalan layaknya badjingan, Bun..
Nah, itu kan beli ya. Bayangin kalo disewain library yang isinya lebih dari 300 game dan disuruh mainin download semua. It’s a backlog paradise!
Ya begitulah duka-duka gamer masa kini. Akan ada waktunya ketika seorang bapak-bapak gamer ini bercerita ke anaknya yang udah kuliah, “Dek, lihatlah library game Bapak waktu muda, ada 200 lebih game di PS, 10 tahun langganan Playstation Deluxe Region Turki, 180 game diskonan 80% di Steam, 280 game gratisan di Epic, dan 20 tahun langganan akun sharing Xbos Gamepass Ultimate.”
THE ACHIEVEMENT HOARDER
Kegiatan mengumpulkan tropi atau 100% achievement di era gaming makin ke sini makin meningkat trend-nya. Achievement di sini adalah tingkat kesempurnaan penyelesaian suatu game. Buat anak Playstation, nge-platinumin suatu game adalah suatu kebanggaan dan kepuasan tersendiri. Apalagi kalo gamenya adalah game gitgut yang tropinya cuma bisa didapat kalo udah menang ngelawan boss area. Achievement di sini juga bisa dipake sebagai tolak ukur reviewer untuk melihat seberapa lama suatu game bisa ditamatkan. Sebagai contoh, akan selalu ada achievement atau tropi untuk story akhir dalam game tersebut. Nah, kalo tropi dari story akhirnya aja baru bisa didapat lebih dari 20 jam, bisa kebayang kan berapa lama waktu yang dibutuhkan menyelesaikan tropi atau achievement lain yang sifatnya kolektibel?
Ubisoft ketawa melihat ini.
Achievement hoarder ini pada dasarnya adalah variety gamer, atau gamer yang melahap banyak genre di dalam game. Nggak peduli apakah open world, turn-based RPG, ARPG, Sim-builder, Simulator, Sports game, atau bahkan genre Fighting. Semua dilibas tanpa ampun sampai tetes terakhir. Menyewakan library berisi ratusan game ke para pencari pencapaian sempurna ini, ibarat ngasi chat “udah mam belum” ke cowok yang menjomlo belasan tahun.
Langsung dijabanin!
THE LOSING INTEREST
Fenomena ini adalah salah satu fenomena dalam perilaku gamer yang paling unik terkait era gaming yang sifatnya langganan. Dan kebetulan banyak gue temuin di berbagai forum gaming di Facebook. Hal ini juga sebelumnya pernah gue rasakan ketika masih main Nintendo 3DS CFW Luma. Konsol CFW memang nggak akan hilang dimakan peradaban. Dulu, gue bisa download game sepuasnya di Freeshop yang disediakan di Nintendo 3DS CFW. Semua game RPG terkenal Nintendo langsung didownload tanpa tedeng aling. Coba satu game, ganti. Coba satunya lagi, udahan. Coba satu game yang lain, setengah jam berikutnya ganti lagi.
Begitu terus sampai gue hapal banyak game genre turn-based khas Jepang. Tiga bulan berikutnya, konsolnya udah mangkrak dengan lebih dari 30 puluh game terinstal. Melihat hal ini, gue jadi ngerasa bersalah, kok bisa satu game pun nggak ada yang tamat atau bahkan sampai di pertengahan cerita.
Akhirnya konsol 3DS CFW nya gue jual dan gue beli Nintendo 3DS XL yang ori new-sealed. Lalu gue beli cartridge second dari game yang udah pernah gue download bajakannya tapi mangkrak – Bravely Second: End Layer seharga 400-an ribu. Di sini gue sadar kalau kaset game Nintendo itu mahal-mahal dan susah turun harganya. Dua minggu berselang, nggak terasa gue udah mainin itu game selama 140 jam dan akhirnya tamat. Karena gue ketagihan ceritanya, akhirnya gue beli lagi cartridge second dari sekuel pertamanya, Bravely Default. Tiga minggu kemudian, gamenya tamat dengan waktu main kurang lebih sama di atas 100 jam.
Kalo kata orang, pesan moral yang bisa diambil adalah: gue akan lebih menghargai game yang dibeli bukan karena compulsive buying, alias dibeli karena emang pengin main dan pengin tau ceritanya. Lalu, dengan adanya keterbasan untuk mengakses game lain, gue jadi lebih fokus ke cerita di game tersebut. Banyak juga yang bilang, ada banyak game jadi mangkrak atau jadi backlog bukan karena gue nggak suka ceritanya atau nggak suka gameplay-nya, tapi karena gue nggak pernah sampai ke bagian terpenting di dalam game tersebut. Adanya banyak godaan game lain bikin gue menunda main sampai akhirnya kehilangan minat untuk meneruskan progress-nya.
Pengalaman gue main game bajakan yang akhirnya mangkrak ini ternyata juga gue temukan di banyak gamer yang udah sub atau langganan Gamepass, EA-play, Humble Bundle, atau bahkan yang lagi rame – Playstation Plus Extra/Deluxe. Di sini muncul perubahan perilaku gamer yang tadinya grateful karena dikasi akses ke banyak game secara murah, menjadi ungrateful/unfortunate, atau bahkan sampai losing interest. Apa yang dikasih murah dan terlalu banyak malah mengurangi value dalam bermain game. Gue juga banyak temuin gamer yang lebih rela beli game di Steam dengan harga full ketimbang download di Gamepass PC. Padahal game itu juga dirilis di Gamepass PC beberapa bulan berselang dari perilisan.
Walau terkesan aneh dan idealis, tapi gue tetep bisa relate. Seluas-luasnya akses yang diberikan sistem berlangganan game platform manapun, pada akhirnya gamer hanya akan mainin game yang dia butuh dan yang bikin dia betah. Di sini gue juga sadar bahwa akan selalu ada gamer yang lebih milih beli 1-2 game dengan harga normal tapi bisa dimainin ratusan atau bahkan ribuan jam, daripada langganan library game setahun tapi satu game pun nggak ada yang dimainin lebih dari 10 jam.
Hal lain yang nampak mengurangi value dalam bermain adalah ternyata sistem langganan game itu sendiri. Di banyak mindset para gamer, yang namanya sewa atau langganan, jelas bukan suatu kepemilikan yang pasti. Game dari sistem subs ini jelas cuma bisa dimainkan selama gamer masih berlangganan ke suatu platform tersebut. Ini juga yang jadi alasan kenapa ada gamer yang sangat attached ke suatu seri game tertentu bisa sampai nggak sudi untuk sekadar nyoba main game itu lewat sistem langganan.
Akhir kata, gue selalu berpandangan, apapun platformnya, apapun gamenya, berapapun harga yang harus dibayar oleh gamer, pada akhirnya gamer hanya akan memainkan game yang dia pengin dan dia suka. Nggak semua gamer harus ikutan langganan layanan ini dan nggak semua gamer wajib beli game secara penuh karena bisa dimainkan cukup dengan langganan aja.
Sebelum tambah puyeng dan galau harus berlangganan yang mana, fitur mana yang paling bagus, satu hal yang perlu ditanya ke dalam diri sendiri:
“Sebenernya gue ini mau main game apa, sih?”
Jadi gimana, apakah kalian ngerasa kalau era gaming berlangganan ini bakal terus naik, apa akan redup beberapa tahun ke depan?