“Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas.”

Jika meminjam salah satu judul dari novelnya Eka Kurniawan, mungkin kalimat di atas adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sepak terjang Square Enix di genre action adventure, apalagi jika udah berurusan dengan tema superhero. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau game Marvel Avenger bikinan Crystal Dynamics ini bener-bener merangkak demi mendapatkan minat dan welas asih para gamer. Dari perilisan yang tergolong bad launch, kemudian perilisan DLC dan konten yang nggak seperti yang dijanjikan di road-map konten, sampai dengan harus kehilangan banyak playernya di Steam hanya dalam beberapa bulan setelah perilisan. Ya intinya bener-bener struggle dan tambal sulam supaya relevan dengan komplenan para gamer.

Ternyata nama besar Avenger masih nggak mampu menyiasati betapa minim dan boring-nya mekanik gameplay di game tersebut. Namun, seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas, bukan?

Berselang 13 bulan kemudian, lewat Guardian of The Galaxy yang dirilis di 26 Oktober 2021, Square Enix yang kali ini gamenya langsung ditangani oleh Eidos Montreal, membayar tuntas kesalahan-kesalahan yang ada di Marvel Avengers dan membuat Guardian of The Galaxy menjadi game yang menyenangkan dan sempet bikin gue bergumam di tengah permainan, “Hah, serius ini game rilisan Square Enix?

Jadi, apakah Guardian of The Galaxy menjadi awal mula pertobatan Square Enix di genre action adventure?

Cyberpunk 2077 banget.

STORY

Berbanding terbalik dengan pendahulunya yang menyisipkan konten campaign di tengah jibunan layered skin di fitur multiplayer, Guardian of The Galaxy tampil dengan kemurniannya sebagai game single player tanpa fitur mabar, fitur mikrotransaksional, tanpa koneksi internet, dan bahkan bisa kalian tamatkan di bawah 25 jam.

Alur cerita pada Guardian of The Galaxy disusun secara linear dan action-packed. Jadi, nggak hanya eksplorasi, kita juga disuguhkan dengan kerja sama tim dalam memecahkan puzzle, platforming halang-rintangan, quick timed event (QTE), dan tentu aja tembak-tembakan menggunakan pesawat tempur. Buat para penikmat genre action linear seperti Uncharted, SW: Fallen Order, atau Tomb Raider, kalian tentunya akan sangat mudah untuk tune-in ke dalam game ini. Nggak hanya itu aja, Guardian of The Galaxy juga menyuguhkan opsi decision making dan pilihan conversation yang akan memberikan efek dalam percakapan.

Game ini hadir dengan tema cerita yang sederhana tanpa perlu banyak plot dan twisting di dalamnya. Kita nggak disuguhkan bagaimana Guardian of The Galaxy terbentuk, melainkan napak tilas dari latar belakang para personel sebelum tergabung menjadi satu kesatuan. Inti dari Guardian of The Galaxy ini adalah: Grieving alias berkabung. Seperti yang udah kalian tonton di 2 film layar lebarnya, para personel Guardian of The Galaxy adalah kumpulan loser yang punya masa lalu kelam dan menyedihkan. Seperti Gamora yang melihat keluarganya dibunuh ketika planetnya dijajah Thanos dan kemudian malah diangkat jadi anak oleh Thanos, kemudian Rocket yang awalnya adalah kelinci percobaan yang diberi cybernetics sehingga jadi cyborg, lalu Drax yang berambisi membalas dendam ke Thanos karena istri dan anaknya juga bernasib sama – dibunuh Thanos, kemudian sang kapten kapal – Peter Jason Quill a.k.a Star-lord yang punya dady issues karena semasa kecilnya diculik oleh Alien dan dibesarkan oleh Ravager, lalu yang terakhir adalah Groot yang dari kecilnya udah “I am Groot” mulu ngga tau ah ngga jelas pokoknya yang tau cuma si Rocket. Semua latar belakang ini bisa kalian temukan di dalam cerita dan percakapan dalam game.

Masalah berkabung dan move on ini menjadi plot utama dari keseluruhan cerita. Beneran, dari superhero sampe villain, isinya cuma berkabung dan bales dendam. Berangkat dari ketidakmampuan para superhero dan villain dalam merelakan atau mengikhlaskan kepergian orang-orang yang dicintai inilah konflik-konflik di game ini bermunculan. Game dimulai dengan menceritakan masa lalu Peter Quill dan masa lalunya dengan Nova Corp yang berujung pada penyelamatan seisi semesta.

Plot sederhana ini disajikan Eidos Montreal dengan cara yang unik dan tentunya penuh dengan ceng-cengan alias banter khas anak tongkrongan yang sangat slapstick.

Great move, Eidos Montreal, great move.

CHARACTER

Kalau udah ngomongin game superhero, tentunya para player akan sangat mudah membandingkannya dengan karakter atau penokohan yang udah pernah dilihat di layar lebar alias MCU sebelumnya. Inilah yang menjadi awal mula masalah dari Marvel Avengers. Karakter dari Marvel Avengers yang kurang relate dengan para penonton marvel ataupun bahkan para pembaca komiknya ini membuat karakter di dalam game Marvel Avengers nggak memiliki ciri khas yang kuat dan nggak punya keterikatan satu dengan yang lainnya.

Namun, nggak seperti Crystal Dynamics, Eidos Montreal nampaknya punya taste jauh lebih baik dalam opening, pengenalan tokoh, dan bahkan alur penulisan conversation pada masing-masing character Guardian of The Galaxy. Apa yang missing di character Marvel Avengers ini bener-bener dijadikan jualan utama di Guardian of The Galaxy! Ya, interaksi, kedalaman, dan relasi antar karakter satu dengan yang lainnya kerasa sangat kuat dan nggak cuma sekadar filler atau conversation cringe pemanjang durasi. Di titik ini gue bener-bener bisa merasakan bahwa mereka ini adalah suatu tim yang berusaha mencari titik tengah di setiap permasalahan yang ada.

Ceng-cengan atau banter khas Starlord-Rocket yang udah terpatri di kepala kita karena 2 film di Guardian of The Galaxy MCU ini ditulis dan diceritakan dengan sangat baik. Ceng-cengan atau interaksi antar member ini terjadi nyaris di setiap aktivitas yang kita lakukan seperti exploring dan saat bertempur. Spoiler buat kalian semua: mereka ini beneran nggak bisa diem, ceng-cengan setiap saat.

And it’s hilarious! 

Drax pun nggak kalah bocor alus dari Rocket.

Ngga hanya itu aja, di beberapa kali kesempatan, kita dikasi opsi untuk mendukung atau balik nyerang opini atau ejekan antar member. Ekspektasi rendah gue saat mengawali game ini bener-bener diangkat oleh Eidos Montreal. Mereka bener-bener serius dalam menulis percakapan di dalam game ini.

Great move, Eidos Montreal, great move.

KOMBAT DAN MEKANIK

Keputusan Eidos untuk membuat Guardian of The Galaxy bukan sebagai game yang sekadar hack and slash adalah keputusan yang tepat. Guardian of The Galaxy adalah game dengan mekanik combat yang team-based. Ini tentunya juga sejalan dengan keputusan mereka yang hanya memberikan panggung tunggal ke Starlord sebagai karakter yang playable. Ya, jadi di sini kita ngatur skill Groot, Rocket, Drax, dan Gamora atas komando dari Starlord. Walau sistem seperti ini sudah sering kita temukan di mekanik combat action JRPG, penerapan seperti ini membuat Guardian of The Galaxy jadi keliatan lebih fresh dari game superhero pendahulunya yang cuma pukul-pukulan sambil pamer skin baru.

Dari role-nya, Groot dan Rocket adalah karakter yang berfungsi untuk crowd control dan AoE-based. Gamora dan Drax adalah single target based dan burst damage. Jadi timing dan penggunaan skill yang tepat akan mempermudah pertempuran. Selain buat bertempur, skill member ini berguna untuk eksplorasi kayak buat nyebrang jembatan, buat buka pintu, buat manjat, buat mindahin batu, dan masih banyak lagi.

Skill member kita atur menggunakan wheel dan setiap kita pencet wheel-nya, game langsung berjalan slow-motion.

Terus gampang ngga mainnya? Kalo ambil difikulti paling kanan, ya bisa jadi nggak. Makin sulit pilihan difikulti, hape monster dan boss juga semakin tebel. Selain mesti ngatur skill member lain, kita juga ngga gabut yha, hey tolong. Starlord juga dilengkapi dengan skill dan equipment yang terus diupgrade di dalam cerita. Starlord punya senjata elemen yang sangat berguna untuk menembus armor musuh yang nyebelin. Selain buat menembus armor, elemen dari senjata Starlord ini juga berfungsi untuk memberikan efek debuff seperti freeze dan electrocute. Lumayan untuk mengulur waktu. Selain itu, apalagi yang susah? QTE! Hahaha. Gue yakin, ketika kalian memainkan game ini, akan ada banyak QTE yang missed dan kalian harus ulang scene itu berkali-kali. Ini disebabkan QTE yang sering muncul tiba-tiba dan kurang jelas instruksinya.

HUDDLE UP. Nah, ini adalah ulti dari team Guardian of The Galaxy. Bukan hal baru dalam action JRPG. Tales of Arise, Xenoblade, dan team-based RPG sejenis juga punya ulti untuk team seperti ini. Yang bikin fresh adalah cara Eidos dalam menyajikannya. Ketika team udah kesulitan buat ngalahin musuh, ada fitur ulti yang bisa diaktifkan, dan Starlord akan ngumpulin member buat nongkrong bareng. Di sana akan ada keluh kesah member yang putus asa, bingung mau ngapain lagi, dan sebagainya. Nah decision yang kita ambil akan menentukan hasil akhir. Kalo member termotivasi, mereka akan main lebih gacor dengan damage booster. Selain damage booster, kita juga akan bermain dengan iringan musik yang ada di Walkman-nya Starlord. Tapi, kalau gagal, member akan berbalik ceng-cengin Starlord, dan akan bertarung tanpa damage booster.

Sesi curhat para member.

Good move, Eidos Montreal, good move.

Dari tadi great move good move aja, masa nggak ada jeleknya ini game? Betul sekali, cuma Cyberpunk yang sempurna sejak pertama kali dipikirin.

THE CONS

Seperti yang udah gue sebutkan di atas, nggak hanya ceng-cengan yang bisa terjadi setiap saat, tapi Eidos juga menyajikan pilihan conversation bahkan opsi decision making bagi Starlord. Pertanyaannya adalah..

DO CHOICES REALY MATTER?

No, but actually yes.

Yes, but actually no.

Haha.

Eidos menyajikan pilihan opsi dalam percakapan ala-ala telltale ini dan membaginya menjadi dua: opsi dalam percakapan dan opsi pengambilan keputusan oleh Starlord. Opsi percakapan Starlord yang bentuknya mendukung atau bahkan menyerang balik opini antar personel ini hanya akan mengubah alur atau jenis ceng-cengan antar personel. Kalau kalian selalu menyerang opini salah satu personel, personel itu akan sangat ketus becandaannya ke Starlord. Begitu juga sebaliknya. Opsi dalam memilih jawaban percakapan ini punya waktu dan kalau waktunya habis Starlord akan diam dan nggak menjawab. Pada beberapa bagian percakapan yang krusial, personel akan mengingat jawaban yang kita pilih dan muncul di layar kanan atas sebagai notifikasi atas pilihan kita. Pilihan apapun pada percakapan di sini ngga akan mengubah alur cerita.

Opsi pengambilan keputusan yang dilakukan Starlord pun demikian. Mungkin dari beberapa pilihan, hanya ada satu atau dua yang memberikan efek paling signifikan. Misalnya kalau Starlord memilih untuk playing nice dengan Nova Corps, di chapter selanjutnya akan dimudahkan karena kita dikasih akses masuk ke markasnya. Endingnya tetap akan sama walau progress masing-masing player bisa berbeda. Misal, player A akan menemui musuh lebih banyak daripada player B karena player A selalu mengambil opsi not playing nice. Atau di suatu chapter, player A nggak bermain dengan Rocket karena kita milih untuk “bermusuhan” dengan Rocket.

Salah satu decision making yang dilakukan Starlord.

Jadi, dua hal di atas hanya sebagai bumbu percakapan dan bumbu variasi cara bermain yang sama sekali nggak mengubah alur cerita. Pilihan apapun yang kalian pilih, akan membawa ke dalam ending yang sama. Walau nggak berharap bisa sekompleks The Witcher 3, tapi harusnya opsi-opsi yang telah dibangun dari awal ini bisa membuat player lebih berhati-hati dalam memilih karena dapat mengakitbatkan percabangan dalam cerita.

MISSABLE COLLECTIBLES

Mungkin dari semua hal-hal positif dalam game Guardian of The Galaxy, collectibles yang bisa missed dalam sekali run adalah hal yang paling dikomplen para achievement atau trophy hunter. Entah apa yang ada di pikiran Eidos Montreal untuk nggak membawa progress collectibles ini ke dalam fitur New Game+ setelah kalian menamatkan campaign-nya.

Fitur New Game+ adalah fitur yang biasa disematkan ke dalam game-game linear single player untuk merasakan kembali second playthrough dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dengan equipment dan skill hasil menamatkan campaign di kali pertama. Masalahnya, progress collectibles di Guardian of The Galaxy nggak dibawa ke dalam New Game+, alias player kudu mencari ulang dari awal untuk masing-masing collectibles di tiap chapter-nya.

Berbeda dengan pendahulunya yang menjual outfit sebagai mikrotransaksional, GOTG menjadikan outfit sebagai collectibles. Dan missable.

Alhasil, buat yang berencana untuk mengejar semua achievement maupun trophy di game ini, kalian harus memainkan game ini sambal browsing di Youtube untuk masing-masing lokasi collectibles. Nggak ada jalan untuk kembali ke area awal ketika kalian menginjak cutscene di dalam game yang sudah sangat scripted ini.

POOR OPTIMIZATION ON CONSOLE

Buat gamer yang nggak masalah dengan game yang berjalan di 30 fps untuk ukuran PS5 dan Xbox Series X, ini tentunya bukan hal yang perlu diperdebatkan. Settingan grafik di Guardian of The Galaxy memiliki 2 opsi, yaitu quality dan performance mode. Quality mode akan membuat game ini berjalan di native 4k dan 30 fps. Cinematicccc..

Masalahnya terjadi pada performance mode 60 fps. Untuk bisa menjalankan game linear yang tentunya nggak seberat menjalankan game open world di 60 fps, PS5 dan Xbox Series X harus menjalankan Guardian of The Galaxy di resolusi 1080p. Jika kalian ngecek channel Digital Foundry, 60 fps di resolusi 1080p ini pun nggak stabil dan bisa menginjak 40-an fps untuk scene berat atau di chapter-chapter akhir game ini. Bagaimana mungkin kekuatan PS5 dan Xbox Series X masih nggak mampu menjalankan game yang stabil di 60 fps pada reso 1080p? Bahkan AC Valhalla yang open world ini di PS5 stabil di 60 fps dengan reso 1440p – 1800p naik turun.

THE FINAL VERDICT

Action-packed with tons of slapsticks!

Walau genre yang diangkat dalam Guardian of The Galaxy ini adalah genre yang sangat umum dan mungkin terbilang sangat saturated, Eidos Montreal gue anggap sukses membawa game ini ke arah yang lebih menyenangkan untuk dimainkan.  

Nggak perlu sampai membanderol Guardian of The Galaxy sebagai kandidat Game of The Year, namun, apa yang disajikan oleh Eidos Montreal dalam Guardian of The Galaxy sudah menggambarkan keseriusan perbaikan dari game pendahulunya. Dari segi grafik, motion capture, penyajian cerita, dan kemudian interaksi antar karakter yang dikemas secara slapstick, bener-bener jadi hal yang fresh di tengah-tengah game backlog yang serius. Ekspektasi gue di awal kalau ini bakal menjadi the next episode of Marvel Avengers langsung musnah.

Guardian of The Galaxy adalah bukti keseriusan Square Enix dalam penebusan dosanya setahun yang lalu. Langsung dibayar tuntas!

Skor 7.5 untuk Guardian of The Galaxy! Jadi 8.5 kalau kalian membeli game ini saat kena diskon.

Sampai jumpa di Guardian of The Galaxy Vol. 2~

By The Weakling Casuls

Menulis berita dan opini seputar gaming setiap hari. Sering kena roasting sama akun anon di grup Facebook PC dan konsol bajakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *