Rangkuman Kecil: Apakah Ini Awal Kehancuran dari Ubisoft?

Bukan Ubisoft kalau nggak menyita perhatian kalian. Nggak sebulan atau dua bulan, Ubisoft jadi buah bibir dan bulan-bulanan para gamer di sepanjang tahun 2024 ini.

Genderang perangnya berawal dari trailer perdana Assassin’s Creed Shadows dan Star Wars Outlaws. Setelah itu, semua sosial media adalah medan perang bagi para gamer, jurnalis, aktivis, dan konten kreator. Dari aib pelecehan seksual, lingkungan kantor yang toksik, kultur di kantor yang sangat righteous dan nggak mau denger masukan, sampe isu woke yang digoreng tiap hari. Bahkan, Ubisoft menganggap feedback dari gamer tuh sebagai omongan yang beracun.

Semua dosa Ubisoft selama beberapa tahun terakhir dibredelin satu per satu di banyak media dan sosial media. Bahkan, kalau kalian googling ubisoft sexual harrasment, semua kasus dari yang paling lama sampe paling baru akan keluar semua.

Dan akhirnya pun mulai kelihatan, saham Ubisoft anjlok, jumlah pre-order AC Shadows anjlok, dan Tencent dikabarkan mau mengakuisisi Ubisoft.

Juara Satu Mengabaikan Masukan dari para Gamer

Diangkat di dalam podcast-nya YouTuber Legendary Drops, lingkungan kerja dalam pengembangan game di Ubisoft ternyata punya budaya yang resisten terhadap kritik, alias nggak denger masukan banyak pihak. Mereka juga sering mengganggap feedback dari gamer adalah omongan gamer yang beracun.



Di dalam podcast itu juga dibocorin kalau feedback-feedback dari banyak pihak seperti para gamer ternyata jarang dibahas di rapat tingkat eksekutif. Beberapa contohnya ketika ditanya kenapa desain permainan kerasa repetitif, konten isinya agenda-agenda semua, alur cerita yang boring, ya ternyata kritikan dan masukan-masukan itu semua emang jarang dan hampir nggak pernah dibahas di rapat para pejabat Ubisoft.

Juara satu nggak mau denger masukan ini disinyalir sebagai akibat dari budaya toxic positivity di lingkungan kerja Ubisoft. Pride yang tinggi di dalam hirarki karyawan senior dan eksekutif membuat semuanya jadi serba mentok dan menghalangi banyak perubahan.

Semua Gara-gara Assassin’s Creed Shadows dan Penjualan Star Wars Outlaws yang Lesu

Ubisoft kayaknya emang kaget banget ketika Assassin’s Creed Shadows bener-bener diamuk massa. Mereka yang udah belasan tahun bermain-main dengan sejarah dunia lewat franchise Assassin’s Creed, akhirnya kejeblos di titel ke-14-nya yang mengambil Jepang sebagai latar belakangnya.

Ubisoft yang menjadikan Yasuke sebagai samurai hitam ini otomatis membuat warga jepang di real life muntab. Yasuke sendiri sebenernya memang bukan karakter fiksi, namun bukan Ubisoft kalau nggak main-main sama sejarah, Yasuke yang di dalam sejarah aslinya adalah cuma seorang retainer, malah dijadikan sebagai Samurai oleh Ubisoft.

Nggak cuma dijadikan Samurai, di dalam trailer perdana game Assassin’s Creed Shadows ini Yasuke juga terang-terangan membantai warga Jepang. Bak sang juara dunia di kategori membuat gamer meradang, Ubisoft pun melanjutkan blunder-blunder lainnya seperti menggunakan bendera Sekigahara Teppo-Tai tanpa ijin untuk kepentingan komersil, dan merilis action figure kolektibel Torii Gate tanpa tau makna dibalik Torii gate tersebut.

Untuk kasus kolektibel Torii gate ini parah sih. Untuk ukuran Ubisoft yang menjunjung DEI tingkat tinggi, masa bisa ga paham apa makna di balik Torii gate yang hancur sebelah itu.

Ujung-ujungnya ya cuma bisa minta maap.

Rangkuman kehancuran Assassin’s Creed Shadow.



Blunder-blunder besar di pertengahan tahun 2024 ini memang berasal dari keengganan Ubisoft untuk mendengar masukan dari banyak pihak, terutama gamer-gamer yang jadi tuan rumah di game tersebut, para gamer jepang. Seandainya mereka emang punya budaya denger masukan, mungkin efek bola saljunya nggak segede sekarang.

Ubisoft juga disinyalir memberikan arahan kepada developernya untuk nggak membahas komplenan para gamer jepang ini di depan umum atau di sosial media. Beberapa developer mencatat bahwa kritik dan komplenan dari para gamer memang “tidak dibicarakan” di dalam Ubisoft, dan perusahaan lebih memilih untuk menghindari pembahasan feedback.

Ibarat diam adalah emas, nyatanya memang nggak sedikit dari publisher atau developer yang lebih memilih diam ketimbang tampil di depan publik untuk menjawab amarah para pemain.

Hal ini juga kejadian di dalam tubuh SIE dan Firewalk Studios yang memilih jalur bungkam seribu bahasa ketika Concord mencetak rekor pensiun tercepat di muka bumi. Sony dan Firewalk sama sekali nggak membuka ruang diskusi perkara Concord yang penuh pronoun dan karakter yang less attractive di tengah jenuhnya pasar arena-shooter.

Akhirnya, kematian pun terjadi lebih cepat dari yang dibayangkan. Concord pamit undur diri setelah 14 hari meregang nyawa mengais-ngais jumlah pemain. Para gamer benar-benar menerapkan prinsip vote with your wallet.



Lagi-lagi karena Apa? Yha, Kebijakan DEI

Selain judul-judul game rilisan Ubisoft, ternyata lingkungan kerja di dalam Ubisoft memang nggak kalah seru untuk kalian bahas. Ubisoft sendiri memang punya Divisi DEI yang khusus mengatur kebijakan-kebijakan Diversity, Equity, dan Inclusion untuk semua sektor di bawah naungan Ubisoft. Niatnya sih bagus ya, untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan setara.

Tapi, implementasinya malah bikin sakit kepala.

Developer-developer di bawah Ubisoft ini sering dipanggil HRD cuma karena menggunakan emotikon senyum saat membalas pesan atau menjawab email. Sanksinya pun bisa teguran tegas atau surat peringatan. Usut punya usut, ngasi emotikon senyum ini dilaporkan ke HRD sebagai tindak pelecehan seksual. Saking sensitifnya lingkungan kerja, para developer ini mengaku selalu bekerja di bawah tekanan dan menghambat kreativitas karena seringkali melakukan kesalahan yang justru nggak berkaitan dengan jobdesc mereka.

Coba bayangin kalian kena SP2 gara-gara ngejawab whatsapp bos pake emotikon korporat “Siap laksanakan bos 🙏🏻”?

Terus ya, karena prinsip DEI ini mengenali dan menghargai perbedaan di antara orang-orang, serta memastikan kesempatan yang adil bagi semua, lambat laun membuat Ubisoft mengalami pergeseran arah editorial perusahaan, dari perusahaan dengan suasana “klub laki-laki” menjadi fokus pada pembuatan “konten aman.”

Dari sinilah kata kuncinya: Konten aman.

DEI ini membuat perubahan mindset Ubisoft dalam merancang dan mendesain sebuah game ke arah yang aman untuk semua orang.

Star Wars Outlaws punya budget marketing buat kampanye paling gede, punya lisensi Star Wars, tapi penjualannya jauh di bawah Assassin’s Creed Valhalla.



Salah satu contoh besarnya adalah proyek Star Wars Ubisoft. Beberapa developer menyebutkan bahwa alih-alih menciptakan karakter yang berani dan menarik seperti yang ada di “Baldur’s Gate” atau “Uncharted,” fokusnya beralih ke karakter yang lebih “datar.”

Lha, fokusnya kok malah bikin karakter yang lebih datar? Emang kalau bikin karakter yang cakep dan “menantang” bakal membuat orang jelek tersinggung?


Kebijakan DEI yang Salah Kelola yang Berujung Kehilangan Talenta

Kalau dilihat-lihat lagi, ternyata Ubisoft ini nggak ada bedanya dengan perusahaan-perusahaan gede lainnya yang masih bermain-main sama nepotisme ordal atau kenalan, dan favouritism ke suatu ideologi tertentu.

Banyak yang merasa kalau Ubisoft lebih peduli dengan karyawan yang prinsip “DEI”-nya tinggi ketimbang karyawan yang bisa kerja.

Praktik yang keliatan sebagai bentuk favouritism di atas, menurut beberapa developer yang ngobrol di podcast Legendary Drops, telah menyebabkan penurunan kualitas game Ubisoft. Developer senior dengan pengetahuan dan pengalaman segudang malah dibuang keluar, sementara developer junior yang baru kerja beberapa tahun udah dipromosikan ke posisi senior. Apesnya, developer junior ini cuma paham di satu engine atau di satu genre game aja.

Inget, ini salah satu prinsip DEI loh, untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan setara, semua punya kesempatan yang sama karena emang setara.



Hasil dari kehilangan talenta ini mulai terlihat di beberapa tahun kemudian dengan semakin banyak bug yang muncul dalam game dan penurunan kualitas secara keseluruhan. Developer yang bersemangat dan berdedikasi malah resign, sementara yang stay atau mendapat promosi tampak cuma “menjalankan tugas.” Penurunan semangat dan keahlian ini nggak hanya berdampak pada aspek teknis game Ubisoft, tetapi juga desain kreatifnya.

Di dalam podcast itu pun terang-terangan disebutkan bahwa desainer yang mengerjakan mekanik di game first-person shooter (FPS) Ubisoft malah nggak pernah memainkan game dengan genre FPS itu sendiri.

Dari sini mungkin kita bisa dapat jawaban kenapa game Ubisoft sangat terasa repetitif, begitu-begitu aja, dan kurang punya nyawa.



Hubungan antara Manajemen Ubisoft dengan Para Developer yang Nggak Akur dan Kebanyakan Birokrasi

Belum selesai sampai di situ, ternyata hubungan antara manajemen Ubisoft dengan developer-developer di bawahnya kelihatan nggak akur dan nggak singkron.

Ketika Legendary Drops menanyakan seorang dev terkait kenapa angka penjualan Ubisoft terus menurun, jawabannya sangat mencerminkan kondisi Ubisoft. Kepemimpinan Ubisoft tidak fokus pada memperbaiki aspek-aspek yang membuat penurunan penjualan, melainkan mereka hanya fokus untuk mencapai tujuan finansial mereka, terutama melalui penjualan pemain kasual atau orang-orang yang udah terbiasa dengan game-game Ubisoft. Mereka nggak berusaha membuat orang-orang yang meragukan game Ubisoft untuk membeli game mereka.

Singkatnya, “Yha ngapain gue ngurusin gamer-gamer yang cuma bisa ngehujat game bikininan gue?”

Akhirnya, perang di sosial media nggak terelakkan. Para developer harus tetep menghadapi cacian-cacian dan hujatan, tanpa bisa melakukan eskalasi ke manajemen untuk tindak lanjut.

Selain itu, jumlah lapisan manajemen di Ubisoft dilaporkan meningkat selama bertahun-tahun hingga mencapai “jumlah yang konyol,” yang semakin mempersulit komunikasi antara atasan dan tim pengembangan.

Yha, kebanyakan birokrasi.

Pesan dari kantor pusat sering digambarkan sebagai “omong kosong korporat” yang tidak memberikan nilai praktis bagi developer. Pembengkakan birokrasi ini menghambat komunikasi yang efektif dan berkontribusi pada ketidakpuasan yang semakin meningkat di antara karyawan.


The Aftermath: Saham Anjlok, CEO Komplen di Sosmed, Investor Desak Ubisoft Jual Perusahaan

Akhirnya setelah berbulan-bulan tersudut, beberapa CEO Ubisoft seperti Stevy Chassard, Direktur Monetisasi, sampe berkeluh-kesah di Linkedn akibat hujatan-hujatan para gamer yang tak berkesudahan. Yves Guillemot pun nggak jarang ikut turun berkomentar terkait masalah yang sama.

Keruwetan ini diperparah oleh komplenan para investor akibat saham Ubisoft yang terus anjlok dan mendesak untuk menjual perusahaan.

Gayung bersambut jamban, raksasa internet dan entertainment China, Tencent kepincut untuk mengakuisisi Ubisoft.

Dengan adanya suntikan dana besar dari Tencent, gamer berharap Tencent bisa mengembalikan Ubisoft ke era jaman dulu, era Ubisoft sebelum dipenuhi agenda dan propaganda.


Setelah melihat gejala-gejala kehancuran Ubisoft, gue rasa reaksi para gamer akan terbagi menjadi dua: 1) Gamer yang senang karena Ubisoft rungkad dan makin menjelaskan bukti nyata dari slogan Go Woke Go Broke, dan yang kedua, 2) Gamer yang berharap Ubisoft akan kembali ke era kejayaan trilogi Ezio, ke jaman sebelum jualan agenda dan propaganda ketika sudah diambil alih oleh Tencent.

Jadi, kalian jadi yang mana, pertama, kedua, atau malah kedua-duanya?

By The Weakling Casuls

Menulis berita dan opini seputar gaming setiap hari. Sering kena roasting sama akun anon di grup Facebook PC dan konsol bajakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Index