Diawali dengan misi semacam “Pathfinders”-nya Mass Effect Andromeda, Outriders menceritakan tentang perjalanan manusia ke planet Enoch. Ya tujuannya buat mencari tempat hidup baru secara Bumi udah nggak bisa dijadikan hunian karena terlalu banyak bencana alam.

Ilmuwan bumi telah banyak mengirim satelit/probes pelacak untuk mencari planet lain yang mirip dengan bumi. Didapatlah planet Enoch sebagai tujuan untuk migrasi. Kemudian government dari banyak negara membentuk ECA alias Enoch Colonization Authority yang menginisiasi perjalanan migrasi manusia ke planet lain untuk pertama kalinya. ECA membangun dua pesawat induk besar di luar angkasa (colony ship) bernama Caravel dan Flores yang dapat memuat jutaan nyawa manusia.

Perjalanan 80 tahun cahaya untuk dua pesawat koloni ini nyatanya tidaklah mulus. Pesawat Caravel hancur sebelum dapat berangkat dari stasiun luar angkasa. Banyak manusia yang ada di Caravel tidak dapat diselamatkan oleh awak yang berada pada Flores. Akhirnya Flores harus berangkat dengan manusia dan resource yang ada. Lanjutan cerita dari nasib awak Caravel ini akan kalian temukan dalam perbincangan dengan NPC dan tentu saja pada… nggak jadi, spoiler.

Untuk mengamankan pendaratan Flores, memastikan bahwa Planet Enoch adalah tempat yang aman untuk dihuni, ECA membentuk suatu grup yang akan turun duluan ke Enoch dari pesawat tersebut. Grup ini berisikan manusia-manusia pilihan yang tersisa  dan terdiri dari Scientist, Mercenary, Survival Expert, dan Freelancer. Grup ini dinamakan, The Outriders. Perpindahan para manusia dan resource dari kapal induk ke planet Enoch ini menggunakan Pods atau alat transportasi kecil. Flores alias kapal induk tetap stay di luar Enoch. Pods ini jumlahnya sangat banyak dan diturunkan secara bertahap lewat signal yang diberikan para Outriders yang sudah duluan berada di Enoch. Sinyal ini mengindikasikan daerah tersebut telah aman untuk dihuni.

Selang beberapa tahun kemudian, The Outriders menemukan suatu titik di mana Enoch bukanlah tempat yang aman untuk dihuni. Monster yang buas dan badai “Anomaly” membuat banyak Outriders tewas dalam ekspedisi. Outriders yang tersisa meminta ECA untuk menghentikan upaya kolonisasi Enoch dan kembali ke pesawat induk. ECA menolak dan tetap menjalankan proses kolonisasi apapun resikonya. Outriders yang selamat dan dapat bertahan dari badai “Anomaly”  ini terkena azab layaknya Fantastic Four yang terkena paparan radiasi. Outriders yang terkena paparan Anomaly ini diberhentikan tugasnya untuk sementara waktu dan tidur selama 30 tahun dalam tabung es cryo. Kenapa harus tidur dan dibekukan dalam es dapat kalian temukan juga ketika memainkan game ini.

Kita akan bermain sebagai salah satu dari Outriders yang terbangun dari tabung es Cryo tersebut. Kita terbangun melihat bahwa Enoch di 30 tahun setelahnya adalah medan perang. Kalo ada istilah bangun-bangun ganteng, Outriders ini bangun-bangun Superman, alias punya kekuatan super. Sepanjang permainan kita akan diminta mencari Outriders yang tersisa, mengalahkan The Insurgent, dan tentu aja menguak apa aja yang telah terjadi selama kita tertidur selama 30 tahun. Selain mengalahkan The Insurgent, kita juga punya masalah sama warga lokal Enoch yang dinamakan, The Pax. Siapa The Insurgent, dan kenapa kita kita punya masalah sama The Pax, akan kalian temukan ketika memainkan game ini sampai tamat.

Inget, sampai tamat.

Begitulah inti dari awal mula The Outriders. Tapi, karena penyajiannya terkesan shallow dan asal cinematicc aja, mungkin banyak dari kalian yang akan main skap skip skap skip ketika memainkan game yang cutscene-nya selalu datang mendadak, alias suka-suka sendiri ini.

THE CLASS, ABILITY, AND SKILL TREE SYSTEM

Seperti game looter-shooter RPG yang pernah kalian mainin sebelumnya, ketika karakter yang kita mainkan ini memiliki kelas atau fungsi berbeda dengan karakter lainnya, di dalam role Outrider pun demikian. Terbangun dari tabung es Cryo setelah tertidur selama 30 tahun, kita akan memilih satu dari 4 role atau sistem kelas berbeda. Ada kelas Devastator – yaitu kelas yang ditandai dengan warna coklat dan berelemen Earth menjadi Tank alias kelas yang memiliki defense dan health bar paling banyak, kemudian ada Pyromancer – yaitu kelas yang sesuai dengan namanya jelas menggunakan api sebagai sumber DPS-nya, lalu ada Technomancer – yaitu kelas yang ditandai dengan warna hijau seringkali dianggap support karena memiliki kemampuan membunuh jarak jauh dan memainkan banyak gadget alias turret  sebagai sarana persenjataan, dan yang terakhir adalah Trickster – yaitu kelas berwarna biru dan paling glasscannon yang dapat memanipulasi waktu.

Class tree Outrider pada masing-masing kelas akan membagi karakter kalian dalam perbedaan cara bermain. Class tree di sini dimaksudkan sebagai spesialisasi dalam bermain. Class tree ini bisa direset dan kita juga harus menggunakan set armor dan skill yang membantu proses build class tersebut. Sekali menentukan jalur pada class tree ini, kita wajib mencari senjata, armor, mod, dan pilihan skill yang membantu memaksimalkan kemampuan senjata yang kita gunakan. Secara garis besar, masing-masing kelas dapat menjadi Outrider yang spesifik pada satu jenis cara bermain. Yaitu Firepower/senjata, Survivability atau Damage Mitigation, dan Anomaly atau skill-minded.

Contoh class tree dari Trickster yang mengambil tree Assassin atau Firepower build. Harbringer adalah tipe bermain Damage Mitigation, dan Reaver adalah tipe Anomaly build. Walau class-tree ini bisa direset, digonta-ganti, sampai sekarang kita belum bisa save build atau load-out untuk masing-masing class tree. Jadi, kalau mau ganti class tree, kita harus ubah secara manual. Ini nggak masuk akal untuk jenis game RPG yang punya banyak variasi build!

Firepower build. Ketika mengambil jalur class ini, Outrider kita akan menitikberatkan semua kemampuan untuk menghasilkan output damage terbaik pada senjata. Senjata yang digunakan pada masing-masing kelas pun sangat spesifik. Contohnya, Devastator dan Trickster yang bagus menggunakan light machine guns atau Shotgun, kemudian ada Pyromancer yang punya spesialiasi menggunakan assault riffle, dan Technomancer yang sangat bertumpu pada sniper.

Damage Mitigation build. Jalur skill tree ini gue anggap sebagai jalur dari skill tree yang nyaris nggak digunakan oleh banyak player. Skill tree pada jalur ini menitikberatkan pada survivabilitas Outrider dari segi health bar, regeneration, dan damage yang diterima. Outrider adalah perkara ofensif, the great offense is the best defense.

Anomaly build. Jalur skill ini adalah yang paling umum digunakan oleh banyak player. Build yang menitikberatkan pada penggunaan skill ini adalah chaotic evil. Skill pada masing-masing kelas Outrider ini sangat bervariasi dan memiliki damage yang tinggi. Pada banyak contoh, kombinasi output damage dari senjata dan skill ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kombinasi output damage pada Outrider yang menggunakan Firepower build. Begitulah curhatan gue sebagai Trickster yang main dengan build Firepower. Build ini bagus tapi mahal, dan sangat end-game content. Buat yang baru main, sangat dianjurkan menempuh jalur Anomaly.

Berbicara tentang RPG yang artinya role-play, mari kita lupakan itu. Mari kita tiadakan fungsi Tank dan Support. Di game ini semua adalah DPS. To kill or to be killed. Devastator yang sebenarnya sangatlah tanky, juga dibekali dengan damage output dan regeneration yang tinggi. Begitu juga dengan Technomancer yang bahkan punyan health regen setiap menembakkan peluru. Jika kita sederhanakan, Outriders adalah perpaduan run and gun menggunakan senjata dan magic yang nggak ada habisnya.

Dari banyaknya skill tersebut, pada akhirnya kita hanya bisa menggunakan 3 jenis skill sebagai tiga skill utama yang bisa diletakkan pada tombol skill. Tiga skill yang kita pilih ini pun akan mempengaruhi armor, mods, dan cara bermain. Lalu, pertanyaannya pun menjadi sangat jelas, “Adakah skill yang paling bagus dan paling OP di antara yang lain?”

Ini mungkin adalah satu dari sedikit hal dari Outriders yang bisa gue apresiasi setelah banyaknya memainkan game looter-shooter dan RPG. Jawabannya adalah, nggak ada. Semua skill ini bisa menjadi bagus jika kita padu-padankan dengan armor, senjata, mods, dan cara bermain yang tepat. Lalu, bagaimana kita bisa mendapat armor, senjata, dan mods yang mendukung skill dan cara bermain kita di dalam Outriders?

Ya, kalian akan temukan ini di akhir perjalanan alias end-game content. Grinding to the bone mencari build yang cocok.

Ada total 8 skill pada masing-masing Outriders dan kita cuma bisa menggunakan 3 di antaranya. Sekali lagi, kita belum bisa menyimpan build atau set-skill, dan load-out untuk masing-masing cara bermain. Jadi, kalau mau gonta-ganti skill di tengah medan perang, kita harus mengganti skill ini secara manual. Ini bener-bener melelahkan.

COMBAT, GUN, TRAVERSAL, AND DIFICCCULTY

Jika dibandingkan dengan game-game bergenre sejenis, seperti Division, Remnant, dan Anthem, combat system dari Outriders nggak menambah hal baru selain to kill or to be killed. Inilah alasan di balik absennya item healing di dalam Outriders. Healing di dalam game ini adalah dengan membunuh musuh. Sistem life steal atau yang dalam Outrider disebut Leech Life sangat bergantung dengan cara bermain dan build yang diambil player itu sendiri. Devastator dan Trickster adalah spesialis jarak dekat yang mengharuskan membunuh musuh dalam jarak dekat. Jadi, kalau dua kelas ini nggak kill musuh dalam jarak dekat, ya nggak akan dapat health regen. Pyromancer sedikit berbeda, kelas ini menggantungkan daya regenerasinya pada seberapa banyak target yang terkena efek Burn akibat skillnya. Jadi pastikan  Efek skill yang ada pada Outriders bisa dibilang cukup heboh dan satisfying. Perpaduan gunshot dan magic pada Outriders adalah hal yang patut diapresiasi.

Berbicara tentang senjata, seperti pada game shooter modern lainnya, Outriders juga demikian. Variasi senjata pun terbagi menjadi SMG, LMG, AR, Shotgun, Sniper, dan pistol sebagai secondary. Senjata-senjata ini terbagi berdasarkan tier. Seperti yang bisa kalian tebak, makin tinggi tier, bentuk senjatanya makin aneh dan tentu saja… bercahaya. Memang sangat disayangkan kalau senjata adalah bukan hal utama yang dijual di dalam Outriders. Ini terasa sangat jelas ketika recoil dari banyak senjata terasa sama aja. Ambil contoh, gue hampir nggak bisa bedain recoil antara AR, SMG, dan LMG. Mod untuk senjata pun diperuntukkan untuk menambah jumlah serangan beserta variasinya. Ini bukanlah kabar yang baik bagi kalian yang veteran dan pay attention to detail ke senjata. Intinya, apapun senjatanya, yang penting itu mod-nya.

Pada epic dan legendary item, terdapat 2 mod dan ada 1 mod yang dapat kita ganti sesuai dengan cara bermain kita sendiri. Dan Mod ini intinya menambah serangan atau menambah variasi efek dari senjata yang kita gunakan.

Musuh dalam Outriders mencakup dua jenis, humanoid dan monster. Hal tersulit di dalam game ini justru saat melawan musuh yang humanoid atau mercenaries. Mereka punya formasi dalam menyerang player, yaitu para pasukan melee yang akan mengejar dan mendatangi kita, para rifleman dan Captain yang akan menembak dan mendekat sambil pelan-pelan cover-to-cover, lalu Sniper yang bersembunyi jauh dari jangkauan tembak. It’s a total mess! Dihujani begitu banyak peluru musuh dari berbagai arah, staggered akibat skill yang dikeluarkan captain, tidak adanya tempat berlindung karena ketika kita diam alias covered behind wall pun dilempari granat, adalah tantangan yang akan dihadapi di dalam Outriders.

It’s a bullet festival!

Salah satu masalah yang krusial adalah, betapa clunky­-nya movement karakter di game ini. Kita nggak bisa lompat dan memanjat, ini murni penyajian cerita yang linear dari satu area ke area lain yang dipenuhi invinsible wall layaknya Godfall. Bener-bener ciri khas dari game linear dungeon-crawling. Clungky-nya movement dalam Outriders bahkan membuat game setengah jadi macem Anthem keliatan menjadi game yang digarap secara serius. Beneran, sehancur-hancurnya Anthem, kalian masih dapat menikmati fluid-nya eksoskeleton javelin yang membawa kita terbang, mendarat, dan menembak. Di Outriders, kalian nggak akan kaget kalau misalnya mati di tengah peperangan karena nyangkut, mandek karena nggak bisa pindah cover, mau lompat tapi malah cover, mau lari tapi kehalangan musuh, mau ngehindar tapi ngga tau kalo di belakang ada tembok, mati karena angle kamera yang ngawur, dan masih banyak lagi.

Outrider memaksa kalian untuk bermain secara gitgut melawan pasukan sebanyak satu kampung dengan movement yang terbatas dan tentu saja, out-dated.

Traversal di dalam Outriders pun terasa nyaris sama dengan Godfall. Kita hanya berpindah-pindah dari satu map ke map lain dengan cara ngomong ke NPC sebagai bentuk progress dari story-nya. Di game ini, sebenernya kita nggak berjuang seorang diri, kita punya grup yang terdiri dari Scientist, trader, mercenary dan penduduk lokal. Mereka adalah tempat di mana kita mengupgrade armor, senjata dan tempat terjadinya segala jenis transaksi. Nah, perpindahan semua NPC ini menggunakan truk. Jadi kita tu kayak hidup Nomaden di planet Enoch. Sayangnya, kita sama sekali nggak bisa mengendarai truk untuk berpindah dari satu map ke tempat lain, traversal antar kota atau map ini cuma tersaji dalam bentuk cutscene. Nggak hanya truk, kita literally nggak bisa mengendarai apa-apa selain lutut sendiri, alias jalan kaki. Semua perjalanan dalam instance atau dungeon, kita lakukan dengan berlari dan teleport dari satu checkpoint ke checkpoint lainnya.

Area yang kita kunjungi saat menjalan campaign atau misi utama. Bener-bener kayak map di game mobile gacha yang jualan hero.

Dari semua kesulitan baik yang datang dari musuh dan yang datang dari keterbatasan pergerakan, Outriders menyediakan tingkatan kesulitan pada mode campaign yang dinamakan, World Tier. Tingkatan World Tier berjumlah 15 dan dapat naik level dengan cara membunuh apapun pada tier yang berjalan. Jika misal kalian banyak bermain misi pada tier 6, maka bar Exp World Tier akan bertambah, begitu juga sebaliknya kalau mati saat bermain. Tiap naik level kesulitan, kita mendapat reward dan dapat mengupgrade senjata dan armor menjadi lebih tinggi lagi. Perbedaan yang sangat jelas di antara level world tier ini hanya berada di reward akhir dan loot yang drop. Lalu bagaimana dengan Exp yang didapat. Nggak, semua World Tier menyediakan jumlah Exp yang sama.

Ada total 15 tingkatan kesulitan untuk story-nya aja.

Jadi, buat yang merasa mentok di progress Main Story dan tidack berdaya karena mati melulu di tingkat world tier tertentu, alangkah baiknya jika menurunkan level world tier dan berlapang dada menerima kenyataan kalau masokisma tidack diperlukan dalam bermain game PVE yang non-kompetitip seperti ini.

MULTIPLAYER SYSTEM

Multiplayer di dalam game ini pun seperti yang udah kalian tau, adalah konten co-op bersama random atau teman untuk memainkan misi dari story utama, side mission, daily duties, dan tentu aja end-game content. Bahkan kalian bisa memainkan story di game ini full dengan opsi multiplayer. Sayangnya, kalian hanya bisa bermain dengan dua orang teman aja. Ada yang bilang kalau Outriders menyajikan co-op yang cuma berisikan 3 orang karena Square Enix tau kalau temen kalian nggak banyak yang akan beli game ini. Ada juga yang bilang untuk menjaga kestabilan server dan koneksi.

Entahlah.

Outriders sebenernya menyajikan fitur multiplayer yang cukup ambisius. Sayangnya, perpaduan antara anak konsol dan anak PC alias cross-platform ini nggak berjalan layaknya player harapkan. Seperti yang udah kita duga pada game multiplayer yang juga punya fitur cross-platform, Outriders kembali mengulangi hal yang sama: koneksi ke server yang ancur, rubbering, bahkan sampe ketendang dari server.

Masalah ini sangat dirasakan bagi player yang memainkannya di platform PC. Butuh lebih dari 3 minggu sampai mereka dapat memainkan game ini dengan lebih baik. Jangankan fitur multiplayer, game yang hanya dapat kalian mainkan dengan online only ini pun membuat anak PC sangat kesulitan untuk bisa masuk ke dalam gamenya sampai dengan dua minggu setelah perilisan.

Belum selesai sampai di situ, gue yang memainkan game ini di PS5 pun nyaris hampir nggak bisa connect dengan anak PC untuk mabar sampai berminggu-minggu semenjak perilisan. People Can Fly menyelesaikan masalah ini dengan patch setelah satu bulan gue main random dengan player sesama konsol. Kehancuran terbesar dalam fitur multiplayer di game ini adalah, kita nggak bisa chat dengan player. Buat kalian yang matchmaking dengan random player, konten dengan World Tier atau Challenge Tier tinggi tanpa komunikasi adalah bunuh diri.

Tapi nggak perlu khawatir, sampai dengan artikel ini ditulis, kalian tetep dapat menemukan random matchmaking yang lumayan cepat untuk banyak misi, terutama di misi end-game konten.

END GAME CONTENT

Seperti yang udah kalian baca di atas, yaitu alur cerita Outriders, end-game content di game ini sebenarnya adalah tujuan dari fungsi dari Outriders itu sendiri: memastikan bahwa planet Enoch layak huni sehingga bisa mengirimkan sinyal ke pesawat induk.

Sinyal yang diterima oleh pesawat induk akan menurunkan manusia bumi beserta resource-nya melalui Pods atau kapsul kecil ke seluruh planet Enoch. Karena manusia dan resource-nya ada banyak, Pods-nya juga ada banyak. Sinyal apa yang kalian kirim ini akan kalian temukan setelah menamatkan mode campaign atau story utama.

Nah, end-game content di dalam game ini adalah menemukan Pods itu dan mengambil resource-nya. Masalahnya, Pods ini nyasar ke sarang musuh dan kita kudu, wajib, fardu’ ain nerobos ke sarang tersebut. Resource Pods ini bisa kalian tukar dengan senjata legendary, upgrade senjata dan armor, dan tentu aja…. sebagai sarana untuk mengakses konten ini lebih jauh lagi. Selain resource Pods, mini boss atau main boss di tiap misi ini punya chance yang tinggi untuk drop legendary item. Konten akhir ini dinamakan, The Expedition.

Sama halnya dengan tingkat kesulitan pada story utama, The Expedition juga memiliki tingkatan kesulitan dengan jumlah yang sama, yaitu 15 tingkatan. Bedanya, tingkat kesulitan ini dinamakan Challenge Tier, bukan World Tier. Pusing kan? Spoiler yang sangat menyakitkan adalah, pada akhirnya kita hanya butuh Challenge Tier. World Tier yang udah di-grinding sejak awal tiba-tiba jadi non sense ketika kita sampai pada Expedition. Di sinilah Outriders makin nggak relevan antara story utama dengan end-game kontennya.

The Expedition adalah siksa neraka selanjutnya ketika kalian berhasil melewati tingkat kesulitan tinggi di progress story utama atau World Tier. Reward yang kita dapat di Expedition pun bergantung pada seberapa cepat kita dapat menyelesaikannya. Ada gold, silver, dan bronze reward. Jadi, bermain expedition dengan prinsip “yang penting lewat” pun nggak mendukung progress kalian ke Challenge Tier selanjutnya.

Equip yang gue dapatkan dari World Tier 14, hanya mampu mengantarkan gue ke Challenge Tier level 5 di Expedition. Jika gue memaksa bermain di Challenge Tier 6, equipment yang gue pake langsung terasa sampah dan nggak berguna. Bagaimana perhitungan antara masing-masing Challenge Tier ini cuma People Can Fly dan Square Enix yang tau. Sangat-sangat nggak balance. Alhasil gue harus grinding material dan equipment di Challenge Tier 5 sampai gue punya semua part equipment yang cukup untuk bisa lewatin Challenge Tier 6. Begitu seterusnya sampai Challenge Tier 15.

Salah satu kenistaan terbesar di Expedition adalah: Sistem multiplayer yang kacau dan berantakan. Kita nggak bisa nentuin mau main di Challenge Tier level berapa dengan random player. Misal, gue join dan niatnya main di CT 11, tapi random player sebagai host malah ambil di CT 5. Begitu juga sebaliknya, ketika gue sebagai host mau main di CT 5, random player malah pergi dari lobby gue karena nggak cocok sama tier-nya. Bisa kebayang main dengan random player tanpa chat dan nggak ada filter tingkatan difficulty?

It’s a total mess and masochism.

FINAL VERDICT

It’s a very hard game!

Apa yang terjadi di dalam Outriders makin memantapkan banyak pendapat kalau game dengan genre looter-shooter adalah game yang sangat sulit untuk di-develop. Outriders nyatanya menambah deretan panjang game dengan genre sejenis yang struggle nggak hanya di variasi kontennya, tapi juga di core game-nya seperti masalah mekanik, RPG, balancing senjata, sampai ke server dan koneksi. Apa yang dialami Borderlands, Destiny, Division, Warframe, Anthem, Marvel Avengers, bahkan Godfall, bisa kita temukan di dalam Outriders.

Setelah tiga bulan dirilis dari awal April 2021, Outriders masih bertahan dengan satu end-game konten yaitu Expedition. End-game konten pun masih banyak menyisakan hole yang sangat besar dari segi mekanik dan balancing di dalamnya. Namun, gue perlu sedikit mengapresiasi People Can Fly yang terus memperbaiki gamenya dengan banyak update. Ini terbukti mereka berhasil menyelesaikan masalah yang ada sejak hari perilisan sedikit demi sedikit. Lho kok perlu diapresiasi? Maklum, gue pernah ditinggal mati sama developer untuk game yang udah gue mainin lebih dari 300 jam. Gue juga masih sedikit menyisakan harapan kalau suatu hari nanti CDPR dapat mewujudkan Cyberpunk 2077 yang sebenarnya.

HAHAHA.

Mungkin, tiga bulan masih terlalu dini untuk menyebut gagal, atau bahkan sampai mendapuk suatu game sebagai dead game. Namun, apa yang terjadi di dalam Outriders bukanlah hal yang baru di dalam genre looter-shooter. Para pendahulu looter-shooter udah jatuh bangun dalam hal ini. Layaknya Destiny yang comeback pada Destiny 2, Warframe yang terus memberikan konten dan balancing, dan kemudian Division yang nggak pernah capek tambal sulam perkara balancing weapon dan build. Masalah-masalah yang dialami Outriders adalah bukti nyata bahwa apa yang menjadi jantung bagi keberlangsungan genre looter-shooter justru menjadi bagian yang paling bermasalah, terlupakan, atau bahkan ditinggalkan.

Untuk mengakhiri tulisan panjang ini, mari kita bertanya sekali lagi, “Apakah game ini recommended?” Untuk jawaban sederhana, tentu gue jawab tidak. Lalu bagaimana dengan jawaban kompleksnya?

Ya, semakin jauh dari perilisannya, game ini berpotensi untuk semakin playable dan semakin mendapat konten, terutama balancing-nya. Game ini punya niat dan semangat yang bagus walau eksekusinya kurang. Perlu diketahui bahwa game ini juga nggak punya online store atau currency mata uang. Jadi, apa yang kalian gunakan pada karakter, adalah hasil yang didapat dari in-game. Nggak ada lootbox, ngga ada aktivitas mikrotransaksional. Game ini cocok kalian beli tentunya saat diskon tiba, atau kalian yang lagi berada di fase nggak tau mau main apa lagi, atau kalian yang udah bosen sama game tembak-tembakan modern dan mau nyobain game tembak-tembakan yang dipadu-padankan dengan ilmu sihir.

Buat para platinum hunter di konsol Playstation, game ini sangatlah cocok untuk menambah koleksi mengingat game yang grindingnya sampai mati ini nyatanya bisa kalian platinumkan di bawah 60 jam.

Salam mendang-mending.

By The Weakling Casuls

Menulis berita dan opini seputar gaming setiap hari. Sering kena roasting sama akun anon di grup Facebook PC dan konsol bajakan.

One thought on “Outriders: The Honest Review”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *