Diawali dengan misi semacam “Pathfinders”-nya Mass Effect Andromeda, Outriders menceritakan tentang perjalanan manusia ke planet Enoch. Ya tujuannya buat mencari tempat hidup baru gitu lah ya, ngumpulin probe dan data di tempat itu. Nah orang-orang yang bertugas buat ngumpulin probe dan data dari suatu planet ini dinamakan, Colonizer atau Mercenary. Tapi nggak keliatan sinetronnya kalo Planet Enoch diem aja dan jadi tempat tinggal yang nyaman.
Ada suatu area ketika para Colonizers nggak bisa merecover probe atau data karena ketika perjalanan balik ke pesawat tiba-tiba ada badai menyerang. Badai ini dinamakan “The Anomaly. Badai ini membunuh banyak dari mereka dan yang dapat bertahan pun terkena azab layaknya Fantastic Four yang terkena paparan radiasi. Orang-orang yang terkena paparan Anomaly ini diberhentikan sementara dan tidur selama30 tahun dalam tabung es cryo.
Bangun-bangun, mereka ini udah jadi mutant dan punya kemampuan aneh. Enoch udah berkembang pesat selama 30 tahun. Di sinilah cerita mulai dibangun, kita harus mencari sisa-sisa dari Colonizer yang masih ada.
Udah gitu aja intinya.
Dirilis dengan genre yang kurang lebih mirip-mirip yaitu bergenre sci-fi looter-shooter RPG, dan dikemas juga sama seperti Avengers yaitu dungeon crawling, Outriders di sini jadi terlihat seperti proyek penebusan dosa Square Enix karena hanya tujuh bulan berselang dari perilisan Avengers.
Sejauh ini jadwal rilis Outriders adalah akhir April 2021 (kalo nggak kena Cyberpunk Effect lagi alias delay). People Can Fly selaku developer udah merilis demonya sejak 25 Februari 2021 di semua platform (kecuali Nintendo Switch) yang kita bisa mainkan secara solo maupun bertiga. Menariknya, progress di demo ini akan carry-over alias akan dilanjut di full game-nya.
Karena progress dari demo ini akan dilanjut di full game nanti, nggak heran banyak gamer yang udah habis puluhan bahkan ratusan jam cuma di demo yang singkat ini. Selain bisa memainkan empat tipe Class dan beberapa skill awalnya, di demo ini player bahkan juga sempet-sempetnya exploit senjata legendary alias senjata berwarna oranye. Bukan main emang semangat para grindfest gamer.
So, apakah Outriders dapat menarik perhatian barisan sakit hati pilot Javelin Anthem yang ditinggal mangkrak oleh EA? Apakah Outriders dapat menjadi penebusan dosa Square Enix atas gagalnya debut Avenger? Apakah Outriders mampu bersaing dan bertahan layaknya para dedengkot looter-shooter?
So, inilah review (woelaaah masih demo oi) dari 30 jam bermain bolak-balik kanan-kiri grinding legendary weapon tapi nggak dapat barang satu biji pun dari demo Outriders.

The Good
1) The Satisfying Moment. Kalau kalian pernah main Anthem, maka kalian dapat menemukan salah satu satisfying moment yang terasa kayak theraupetic yaitu combo yang masuk akibat prime skill yang di-detonate oleh skill detonator. Gampangnya, chain combo ini sangat satisfying untuk ditonton. Combo ini dihiasi oleh ledakan yang memicu ledakan lainnya. Jadi kelap-kelip dah itu layar kalian sama ledakan. Combo ini bisa dilakukan oleh masing-masing Javelin atau dibantu antar Javelin. Nggak berbeda jauh dengan Anthem, Outriders pun memiliki fitur ini. Skill antar Riders dapat membantu sama lain, dan juga membuat banyak partikel ledakan.

Yang membuat berbeda, Outriders juga dihiasi oleh gore effect alias ledakan ini mengakibatkan banyak potongan kaki, tangan, badan, dan kepala beterbangan ke sana ke mari. Nggak hanya ledakan, tapi peluru dalam game ini pun bisa memutus badan menjadi dua bagian.

Lumanyan memberikan penyiraman rohani bagi jiwa-jiwa psikopat.
2) A Slightly Better-Looking Appearance. Berbeda dengan Avengers dan Anthem yang hanya dapat diubah penampilannya melalui layered armor atau skin (udah gitu skin-nya kudu beli lagi anjinc), sistem armor di Outriders keliatan masing-masing piece-nya dan langsung mengubah penampilan. Outriders memang banyak mengadopsi UI dari Destiny. Untung nggak mengadopsi Anthem..


3) A Massive Grindfest. Dunia pada Outriders berisi lebih dari 2 fort besar dan punya story campaign sampai dengan 40 jam di luar side mission. Untuk ukuran game non open-world dan bukan linear story-driven, tentu ini bakal terasa sangat panjang mengingat genre looter-shooter sangat bertumpu pada end-game dan konten setelah end game. Nggak hanya itu, tingkat kesulitan pada Outriders terbagi menjadi 15 tier, iya beneran, lima belas tingkatan, dan tentunya mempengaruhi hasil loot atau drop nya.

People Can Fly katanya sih menjanjikan banyak konten di end-gamenya. Hmmm, dulu Anthem dan Avenger juga bilang begitu..
4) Crossplay. Nggak hanya dirilis di nyaris semua platform gaming, Outriders juga menghadirkan sistem crossplay alias fitur mabar lintas agama dalam dunia gaming. Jadi, yang nggak punya temen di real life dan di dunia permabaran, nggak perlu takut nggak punya temen main.
The Bad
1) Maybe a Total Rip-off? Tiga puluh jam bermain di demo dan bolak-balik kanan kiri nyari loot legendary, gue pribadi belum merasakan suatu yang berbeda atau memiliki ciri khas sendiri dari game ini. Iya, gue sangat mengerti perasaan orang-orang yang udah habis ratusan jam di Destiny, Division, Borderlands series, Warframe, dan Anthem. Outriders ini kayak ngambil masing-masing fitur dari game pendahulunya, lalu dirender jadi satu ke dalam satu game.

Mulai dari UI-nya, appearance karakternya, sistem class dan percabangan skill treenya, sistem cover-to-covernya, dan masih banyak lagi. Akan sangat sulit menemukan hal baru di game ini kalo kalian adalah pemain veteran untuk game-game di atas.

Satu-satunya cara untuk mencari tau adalah dengan memainkan game full-nya dan menamatkan sampai ke konten end game.
2) It Supposed to be a Cover-to-Cover Gunfight Game, but actually it is a YOLO run and gun. Gue jujur sangat tertarik dengan permainan halang rintang dan berlindung kanan kiri sebagai jalan untuk bertahan hidup. Hal ini juga yang membuat gue tertarik dengan Division, dan kali ini Outriders. Tapi di demo kali ini, sistem Cover-to-cover tu terasa jadi kayak becandaan karena inti pertarungan dalam Outriders adalah killing for healing. Alhasil gue tentu menerabas kepungan musuh dan menembak secara membabibuta ala Rambo karena gue tahu dengan menembak dan membunuh adalah salah dua cara terbaik mengisi HP yang babak belur ditembaki musuh dari segala arah.
Mungkin emang kudu main di World Tier 15 supaya kalian bisa diem di balik tembok barang sedetik dua detik untuk sadar kalo damage musuh tuh sakit dan berhenti jadi seseorang yang barbar.
3) Cheap Gun Mechanics. Seperti yang udah gue tulis di atas, kalau kalian adalah player yang udah babak belur ratusan bahkan ribuan jam di genre game sejenis, memainkan Outriders tentunya nggak menambah feel dalam fitur baku tembaknya. Bahkan gue nggak merasakan adanya perbedaan recoil di banyak jenis senjata. Gue juga bisa menyebut bahwa senjata seperti AR, SMG, LMG, bahkan handgun, adalah senjata yang sama aja. Cara menembaknya sama, getarannya sama, haptic triggernya juga sama. Dan Handgun pun bisa dihold R2 layaknya menembak SMG.

Di dalam demo ini kalian juga nggak akan menemukan mods pada senjata layaknya Division. Nggak ada scope, nggak ada barrel, magazine, stock, atau apapun. Satu-satunya yang membedakan adalah senjata legendary pada Outriders akan nampak sangat gory dan hellish ketimbang tier di bawahnya yang masih nampak seperti military weapon.

4) Too Many Cutscene. Layaknya Fast and Furious Crossroads yang suka nyempilin cutscene dadakan dan nggak penting-penting banget, Outriders versi demo juga demikian. Kalian akan menemukan banyak cutscene yang sangat mengundang banyak pertanyaan seperti cutscene membuka gerbang, cutscene memanjat tebing, atau bahkan cutscene melompati selokan.
Sungguh sangat cinematic..
Kalau sekali sih masih okelah, tapi ini akan terus terulang jika kita mengulang misi tersebut. Selain banyaknya cutscene yang nggak penting-penting banget, ada banyak black screen yang akan membuat kalian mengira game ini crashed, padahal ini adalah loading screen.
Well, semoga ini bisa di-patch di full game-nya,
5) A Motion Blur Festival. Entah apa yang ada di pikirannya People Can Fly yang nggak membuat opsi mematikan atau bahkan memberikan opsi pengaturan motion blur. Mungkin People Can Fly mengiran Outriders bisa menjadi game dengan pace cukup tinggi dan menjadi game yang juga cinematic secara bersamaan. Hanya berselang beberapa hari dari perilisan demonya, People Can Fly meyatakan bahwa opsi pengaturan motion blur dapat kalian temukan di versi full game. Mungkin udah banyak kena komplen kali yha..
6) Too Many Invisible Wall. Mungkin ini bisa gue sebut sebagai salah satu kekecewaan paling besar gue terhadap Outriders. Harapan gue di awal adalah Outriders bisa menjadi Division dalam versi sci-fi, yaitu open world atau minimal semi open world lah. Ehhhh.. nyatanya malah jadi Godfall versi baku tembak dan baku hantam. Seperti yang udah gue duga, ada begitu banyak invisible wall alias map yang nggak bisa kita akses padahal itu bisa dijadiin sarana traversal dan menambah pengalaman dalam eksploring. Bahkan Anthem yang juga memiliki masalah yang sama, masih punya banyak traversal area sehingga nggak kayak linear game.
Semoga aja di full gamenya lebih banyak area atau map yang dapat dijelajah dan nggak hanya berpindah dari checkpoint satu ke checkpoint lainnya.
Jadi itulah review singkat (padahal panjang) dari Demo Outriders selama 30 jam permainan.
Gimana, tertarik mengulangi guilty pleasure memainkan game looter-shooter grinding kanan kiri tau-tau nggak punya konten end game lagi?
Lets go!